Tiga Hal Yang Menentukan Referendum Kanaky 4 November 2018 Bisa Terlaksana

Sebagai pelengkap dari tulisan Ibrahim Peyon tentang 6 hal yang membuat referendum Kanaky dimenangkan oleh pihak penentang kemerdekaan Kanaky tanggal 4 November 2018, sebagaimana telah kami publikasikan dalam situs ini, dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) mencatat beberapa hal tentang Rererendum di Kanaky tahun 2018 dan referendum di Bougainville Juni 2019 nanti.

Hal pertama dan utama adalah kesiapan FLNKS (Kanak and Socialist National Liberation Front) untuk bermain politik di pentas politik dunia. Kesiapan itu tunjukkan dengan penyatuan organisasi perjuangan kemerdekaan orang Kanaky dengan membentuk FLNKS, kemudian disusul mendapatkan dukungan penuh dari Vanuatu, dan kemudian disahkan kseabgai anggota dari Melanesian Spearhead Group (MSG).

Bangsa Papua telah melakukan hal ini dengan sukses. ULMWP telah terbentuk, dan telah menjadi anggota MSG. Kita sudah siap memasuki pertandingan ke babak berikutnya.

Yang kedua, begitu didukung oleh negara-negara Melanesia, maka kelompok pro kemerdekaan Kanaky terus melancarkan diplomasi mereka di kawasan Melanesia dan di dalam negeri. Mereka berkampanye secara terbuka di dalam negeri dan secara terbuka di seluruh kawasan Melanesia.

ULMWP melakukan hal yang sama di dalam negeri, dengan membentuk kantor koordinasi ULMWP di dalam negeri. Akan tetapi ULMWP lumpuh dalam mempertahankan dukungan-dukungan politik yang telah diraihnya. Bahkan keanggotaannya di MSG juga terancam kandas. Hal ini disebabkan oleh strategi kerja ULMWP yang Euro-sentris dan sangat kebarat-baratan. Mengharapkan berkat datang dari barat, menganggap saudara sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.

Yang ketiga, adalah hal yang selama ini ditolak dengan tegas oleh bangsa Papua, yaitu “berdialog” dengan NKRI itu sendiri. Logikanya sederhana, kalau ada pertandingan sepak bola antara Persipura vs. Persija, maka aturannya kedua kesebelasan harus masuk lapangan, berhadap-hadapan dan bersedia bertanding. Dalam kasus ULMWP – NKRI, sampai hari ini ULWMP menolak untuk berbicara dua arah.

Demikian juga dari sisi NKRI, Indonesia juga menolak berdialog dengan ULMWP. Malahan NKRI mendorong Neles Tebay dkk. dibawah binaan BIN (Badan Intelijen Negara) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)  bekerjasama mendorong Dialog rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia dalam bingkai NKRI, dengan nama dialog kebangsaan. Kerangka dialgoue ialah antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Indonesia di Tanah Papua.

Pertanyaan kita sekarang, “Apa yang membuat Perancis akhirnya bersedia berdialg engan FLNKS dan akhirnya melahirkan Neumea Accord 1998?”

Yang pertama dan yang jelas ialah keuatan, biaik kekuatan militer maupun kekuatan politik yang dimiliki masyarakat Kanak, yaitu penduduk asli New Caledonia.

Menurut Gen. TRWP Mathias Wenda,

Kalau tidak ada alat paksa, bagaimana mau paksa Indonesia duduk bicaa? Bicara masalah apa dulu? Masalah sejarah? Masalah HAM? Masalah pembangunan? Kalau HAM Indonesia sudah bikin pengadilan HAM. Kenapa Melanesia tidak bikin Peradilan HAM sendiri? Kenapa takut? Atau tidak tahu? Masalah sejarah? Semua orang sudah tahu sejarah salah! Jadi, siapa yang pegang perkara ini? Ajukan kasus ini ke Pengadilan Internasional di Den Haag, ulas kasus ini. Jangan ke Jenewa ka New York sana. Itu tunggu dulu. Kalau masalah pembangunan, Jokowi sudah tutup malu, dan dunia sudah bilang Indonesia sudah tutup malu jadi kasih tinggal sudah.

Memperkuat argumennya, Gen. Wenda kembali menegaskan bahwa perjuangan bangsa Papua tidak cukup kuat untuk memaksa NKRI duduk bicara.

Kita banyak punya mental budak, pengemis politik banyak. Kita harus paksa NKRi duduk bicara. Bukan minta, bukan harap, bukan mengeluh.

Kalau dalam politik, mental pengemis tidak usah terlibat, mental mengadu jangan ikut. Mental menyampaikan kekecewaan jangan. Yang harus ikut dalam perjaungan ini ialah orang-orang mental menuntut hak, memaksa pelanggar hak untuk mendengarkan dan menanggapi.

Bagaimana caranya menuntut? Bukan mengeluh, bukan mengemis?

Cara yang jelas dengan membangun kekuatan politik di dalam dan di luar negeri, mengolah organisasi ULMWP menjadi lembaga modern yang profesional menangani perjuangan kemerdekaan West Papua, dengan infra-struktur dan supra-struktur politik yang jelas dan ditata dalam sebuah konstitusi yang jelas pula.Fungsi dan peran infra-struktur dan supra-struktur politik Papua Merdeka harus ditata sedemikian rupa sehingga masyarakat dunia yang modern ini memahami siapa kita dan apa yang kita lakukan, dan di atas itu, supaya mereka yakin kita benar-benar mau merdeka dan berdaulat sebagai Negara Republik West Papua di luar NKRI.

Konstitusi West Papua tidak hanya menyangkut cara-cara mengusir NKRI keluar dari Tanah Papua, tetapi lebih-lebih tentang Tanah Papua dan rakyat West Papua, terkait kehdupan sehari-hari, pemerintahan: administrasi dan birokrasi, hukum negara, investasi, perdagangan, dan sebagainya, sebagaimana sebuah negara.

ULMWP harus muncul sebagai sebuah lembaga modern, “government-in-waiting” yang tidak bermain-main dengan mengeluh dan mengemis. Ia siap menjalankan sebuah pemerintahan negara Republik West Papua.

Wenda katakan

Itu kalau mau pendekatan politik. Nah, kalau mau pendekatan militer, ya serahkan kepada kami di sini. Pendekatan militer itu semua orang sudah tahu.Tetapi untuk itu ULMWP yang harus mempersilahkan dan mempersiapkan. Kalau tidak, kita akan berputar-putar di tempat yang sama, dari generasi ke generasi.

Exit mobile version