Dokumen AS dibuka, terkuak banyak orang tak bersalah ditembaki dalam peristiwa Bukit Arfai Papua

Jayapura, Jubi  Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika yang berkaitan dengan Indonesia, utamanya soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika. Dokumen-dokumen itu menguak sejumlah telegram dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.

Ketiga lembaga itu adalah National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Satu dari sekian banyak dokumen telegram itu menguak penembakan orang tak bersalah yang dilakukan oleh tentara Indonesia pada periode Juni-Juli 1965.

Kisah brutal di Arfai

Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968.  Dari sejumlah dokumen itu, satu dokumen ternyata menguak penembakan terhadap sekian banyak Orang Asli Papua di Manokwari pada tahun 1965.

Dokumen telegram bernomor kontrol 542A, tertanggal 15 September 1965 itu berkisah tentang kondisi di Irian Barat (Papua Barat) pada pertengahan September 1965, sebagaimana diceritakan oleh seorang misionaris Protestan Belanda yang melaporkan tentang dipenjarakannya seorang misionaris, Harold Lovestrand.

Isi telegram itu menyebutkan pada bulan Juni, aparat keamanan Indonesia telah mencegah sejumlah orang Papua yang berencana meninggalkan Papua menuju Australia dengan sebuah dokumen yang ditandatangani oleh sejumlah orang Papua terkemuka saat itu di Manokwari. Kejadian ini diikuti dengan penangkapan sebagian besar pegawai sipil dan sejumlah fungsionaris daerah.

Telegram yang ditandatangani Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green itu, menjabarkan aksi pertama tentara Indonesia di Manokwari yang dikatakan brutal. Pada tanggal 26 Juni di salah satu bukit di Manokwari tiga orang tentara Indonesia yangs sedang menaikkan bendera merah putih, ditembak oleh kelompok orang Papua yang memberontak saat itu. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai penyerangan Markas Arfai oleh Permenas Ferry Awom.

Yunus Inauri, salah satu pelaku penyerangan markas Arfai itu dalam satu wawancaranya dengan Jubi mengatakan Permenas Awom adalah bekas anggota Batalyon Papua. Dia komandan Papua PVK pada jaman Belanda. Dia dan kawan-kawannya berontak karena pasukan Indonesia yang datang membuat ketidaknyamanan bagi masyarakat.

Inauri yang adalah seorang guru saat itu, mengatakan bila tentara Indonesia mendapati orang di jalan yang dinilai berperilaku aneh, maka mereka akan main pukul seenaknya, termasuk anak muridnya di sekolah. Permenas yang melihat keadaan tidak beres ini, bersama kawan-kawannya memukul tentara Indonesia yang bikin kacau. Bukan hanya baku pukul, baku tembak pun tak terelakkan. Situasi jadi ramai, masyarakat lari kocar-kacir. Permenas saat itu punya senjata yang selalu dibawa kemana-mana.

Setelah penembakan tiga tentara Indonesia itu, keesokan harinya tentara Indonesia menembaki setiap orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah jatuh tertembak di jalanan. Aksi penembakan semakin meluas di hari-hari berikutnya, namun kelompok Permenas Awom tidak pernah turun menyerang Manokwari.

Perlawanan kelompok Awom terus berlangsung hingga pasukan utama Indonesia didatangkan dari luar Manokwari. Dalam massa perlawanan ini, gencar beredar issu jika Papua merdeka, maka Belanda, Australia dan Amerika Serikat akan membantu dana pembangunan Papua.

Kasus Lovestrand

Lovestrand sendiri, dalam telegram tersebut disebut ditahan karena dikhawatirkan bisa menjadi korban penembakan. Sebab pada periode itu, orang-orang Papua yang menginginkan kemerdekaan memenuhi jalan, demikian juga aparat keamanan Indonesia.

Selain Lovestrand, seorang Pendeta Katolik asal Belanda bernama Vandenberg di Sukarnopura (nama Jayapura saat itu) juga ditahan tanpa alasan yang jelas.

Dalam blog NDC dikatakan kasus Lovestrand yang terjadi pada massa itu memberi tekanan signifikan terhadap hubungan AS – Indonesia. Sekretaris Rusk mendesak Duta Besar Green pada 29 Januari untuk melanjutkan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Subandrio. Percakapan yang dihasilkan tidak berlangsung sampai 9 Februari, di mana Duta Besar Green menemukan bahwa Jaksa Agung Indonesia mendapat pengakuan yang ditandatangani dari Lovestrand yang menyatakan bahwa dia tidak melaporkan bukti pemberontakan di Papua. Perantara lainnya terus mendesak Sukarno untuk membebaskan Lovestrand. Kedutaan Besar menyadari bahwa tekanan yang terus berlanjut pada Sukarno menciptakan lebih banyak masalah daripada kemajuan. Akhirnya, pada tanggal 18 Maret, Kedutaan Besar Indonesia mengindikasikan melalui telegram kepada Rusk bahwa Jaksa Agung Indonesia mulai memproses dokumen untuk mendeportasi Lovestrand.

Misionaris Belanda ini akhirnya dideportasi bersama keluarganya menggunakan pesawat KLM pada tanggal 23 Maret 2066.

Harold Lovestrand kemudian menulis tentang pengalamannya di Indonesia dalam buku Penyanderaan di Jakarta, yang diterbitkan oleh Moody Press pada tahun 1967. (*)

Exit mobile version