ULMWP, Meniti ‘Jalan Keselamatan’ di Pasifik

Aksi solidaritas Papua di Honiara pada Mei 2016. Foto: Istimewa/ULMWP
Aksi solidaritas Papua di Honiara pada Mei 2016. Foto: Istimewa/ULMWP

Saat kekuatan ekonomi dan kemanusiaan menjadi pertaruhan di antara pemimpin negara-negara Melanesian Spearhead Group.

Bulan September 2016, status keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan kembali ditentukan dalam sidang organisasi negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG). Keputusan ada di antara para pemimpin negara-negara MSG. Inilah saatnya melihat keberpihakan organisasi MSG terhadap Papua Barat kembali diuji. Dua hal yang menjadi pertarungan, antara kekuatan ekonomi dan kemanusiaan. Manakah yang lebih kuat suaranya di antara pemimpin negara-negara MSG itu?

Pertarungan West Papua atau Papua Barat – merujuk dua provinsi Papua dan Papua Barat di dalam negara-negara Melanesia sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Pada tahun ini, West Papua menjadi isu krusial di antara agenda sidang MSG. Sidang terakhir pada 14-15 Juli 2016 di Honiara, Salomon Island, yang belum juga memutuskan kelanjutan status ULMWP, organisasi yang merepresentasikan perjuangan rakyat Papua.

September 2016 ini, status ULMWP di MSG akan kembali menjadi agenda penting dalam pertemuan negara-negara MSG, yang sedianya dilaksanakan di Port Vila, Vanuatu. Perjuangan ULMWP, yang dimotori oleh kelompok perjuangan generasi muda Papua ini telah menempuh jalur diplomasi politik di kawasan Pasifik.

Jalan Perjuangan

Perlu dipahami perjuangan para pemimpin Papua di MSG dilatarbelakangi oleh situasi ‘penjajahan’ yang masih ada di Papua. Sejumlah indikasi yang menempatkan bangsa Papua masih di bawah penjajahan antara lain eksploitasi kekayaan alam, tindakan sewenang-wenang aparat negara, penyiksaan dan pembunuhan, serta pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung beberapa dekade.

Praktik ‘penjajahan’ yang berlangsung hingga saat ini tak terlepas dari perjalanan perjuangan bangsa Papua sejak 1960an. Perjuangan Papua menentang negara telah dilakukan Awom bersaudara di Manokwari dan menjalar hingga Jayapura dan sejumlah wilayah di papua pada 1960an. Peristiwa perlawanan demi perlawanan itu kemudian dihadapi dengan operasi perang oleh tentara Indonesia, salah satunya bernama Operasi Koteka, dengan target menumpas perlawanan di Pegunungan Papua pada 1977-1978. Operasi ini melahirkan gelombag besar pengungsian, sekitar 10 ribu orang Papaua mengungsi ke Papua New Guinea (PNG).

Sejarah perlawanan dan gerakan perjuangan kemerdekaan Papua dan gerakan bersenjata militer Indonesia ini, bagi bangsa Papua menjadi catatan sejarah yang sulit terhapuskan. Cerita pembunuhan, tempat penyiksaaan, dan segala penderitaan menjadi saksi sejarah dan cerita yang hidup sepanjang masa.

Demikian, sejarah lama saat tongkat perjuangan dipimpin oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memiliki basis hampir di semua wilayah di Tanah Papua dan di Victoria, PNG. Suatu perjuangan yang lebih mengedepankan kontak fisik senjata OPM yang berhadapan dengan militer Indonesia.

Perjuangan bersenjata, yang kemudian memakan banyak korban, memberikan refleksi politik bagi pejuang Papua. Maka, munculah perjuangan angkatan muda – intelektual yang berkoordinasi dengan pejuang OPM (orang-orang tua) mendeklarasikan sebuah wadah politik perjuangan Papua yang disebut Presidium Dewan Papua (PDP). Peristiwa monumental ini sebagai salah satu resolusi Kongres Rakyat Papua II (KRP II) pada 2000 di GOR Cenderawasih, Jayapura.

Sejak organisasi perjuangan sipil PDP dideklarasikan, muncullah organisasi-organisasi perjuangan politik Papua. Pada 2005, sesudah lima tahun PDP terbentuk, sebuah organisasi politik West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) berdiri. Tiga tahun berikutnya, tahun 2008, lahir Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Lalu pada Oktober 2011 Kongres Rakyat Papua III muncullah Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB).

WPNCL didirikan untuk menghimpun kembali para pemimpin organisasi sayap politik pasca KRP II. Sedangkan KNPB dibentuk untuk menjadi media penyalur aspirasi masyarakat Papua di luar negeri. KNPB pun menjadi cikal bakal berdirinya Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang memiliki basis KNPB di seluruh tanah Papua.

Beberapa organisasi politik tersebut di antaranya mendaftarkan West Papua untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group pada 2013 di Kanaky, New Caledonia. Dalam MSG Leader Summit dua tahunan itu, aplikasi keanggotaan West Papua disarankan agar menjadi satu karena beberapa organ itu membawa nama West Papua.

Kemudian pada 2014 ketiga organ politik NFRPB, PNWP, dan WPNCL menyatukan diri dalam satu pergerakan dan perjuangan di bawah payung besar United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Saralana, Port Vila, Vanuatu.

Lalu ULMWP mengajukan aplikasi keanggotaan West Papua pada pertemuan dua tahunan MSG Leader Summit pada Juni 2015 di Honiara, Solomon Islands. Dan aplikasi ULMWP pun diterima sebagai anggota pengamat atau observer member. Para pimpinan MSG menjanjikan ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh pada Juli 2016, namun dinamika politik tampaknya mengulur janji itu tergenapi.

MSG, ‘Jalan Keselamatan’?

Melanesia Spearhead Group (MSG), selain asosiasi negara-negara Melanesia, ia juga merepresentasikan organisasi yang diakui PBB untuk kawasan Sub-Regional Melanesia yang terletak di Pasifik Selatan. Wadah yang didirikan para pendiri negara-negara Melanesia ini bertujuan menjaga dan menjalin hubungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan aspek lain sesama kawasan, termasuk West Papua.

Keanggotaan penuh MSG saat ini terdiri dari empat negara, Solomon Island, Vanuatu, PNG, Fiji dan satu organisasi politik dari New Caledonia, FLNKS. Persoalan keanggotaan West Papua di dalam wadah MSG menjadi polemik di antara sesama anggota. Faktor pemicuh tentu dari luar anggota MSG dan itu adalah Indonesia.

Melihat dinamika yang terjadi, tampaknya (Pemerintah) Indonesia memainkan percaturan politiknya di kawasan Melanesia dengan sangat indah, berhasil memecah belah keharmonisan sesama negara Melanesia. Banyak cara yang dilakukannya, diantaranya bantuan sosial kemanusiaan dalam bencana alam di Vanuatu dan Fiji.

Berkali-kali pemerintah Indonesia mengunjungi negara-negara anggota MSG, mulai dari Presiden Indonesia Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menkopolhukam Luhut Panjaitan mengirimkan perwakilan negara anggota MSG (tidak semua) ke Jakarta lalu ke Papua untuk menunjukkan pembangunan fisik serta pendekatan lainnya dengan Perdana Menteri PNG dan Fiji.

PNG dan Fiji adalah dua negara yang menjadi sahabat dekat dan pendukung utama Indonesia di MSG, termasuk mengusulkan Indonesia (Melindo – Melanesia Indonesia) untuk menjadi anggota asosiasi di MSG.

Kekuatan diplomasi ekonomi sejauh ini mampu meredam langkah para pemimpin MSG dalam menentukan status keanggotaan penuh ULMWP. Karena itu, para pemimpin MSG patut didukung agar tetap konsisten dalam mendukung perjuangan bangsa Melanesia di Papua.

Jika MSG merupakan ‘jalan keselamatan’ bagi bangsa Papua, godaan kepentingan ekonomi tak akan menutupi keberpihakannya pada saudara-saudara Melanesia di Papua. Status anggota penuh bagi ULMWP merupakan bagian dari upaya MSG untuk menyelamatkan bangsa Papua di masa depan.

John H Wetipo adalah periset pada Honai Center.

Exit mobile version