HRW Desak Jaksa Agung Australia Bicarakan Isu Papua dengan Wiranto

Penulis: Eben E. Siadari 21:02 WIB | Kamis, 11 Agustus 2016

Jaksa Agung Australia George Brandis kunjungi Papua. (Foto-foto: Dok. Kedubes Australia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak Jaksa Agung Australia, George Brandis, membicarakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dengan Menko Polhukam, Wiranto, dalam kunjungan mereka ke Papua hari ini (11/8).

Andreas juga mengharapkan Menko Polhukam, Wiranto, bertanya kepada Jaksa Agung Australia, bagaimana negara itu dapat membantu Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

“Saya kira mereka pasti membicarakan isu HAM. Australia pasti membicarakan hal itu. Jaksa Agung itu adalah pengacara negara. Dia tidak bisa datang ujug-ujug tanpa mendapat izin dari perdana menterinya. Jadi saya yakin dia akan membicarakan hal itu,” kata Andreas kepada satuharapan.com, hari ini (11/8).

Menurut pernyataan pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Jaksa Agung Australia hari ini mengunjungi Papua bersama dengan Menko Kemaritiman, Luhut B. Pandjaitan dan Menko Polhukam, Wiranto. Menurut Brandis, kunjungan ini adalah lanjutan dari kehadirannya di Bali menghadiri Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme.

Andreas Harsono menilai kunjungan ini merupakan sebuah langkah maju karena selama 50 tahun Indonesia membatasi kunjungan pejabat asing ke Papua.

“Ini langkah maju. Saya memuji Wiranto untuk keberanian itu. Namun, sebaiknya mereka membicarakan pelanggaran HAM di Papua, mumpung di situ ada Luhut dan ada Wiranto. Saya kira mereka pasti membicarakannya. Apakah hal itu disampaikan kepada pers, saya tidak tahu,” tutur Andreas.

Andreas mengingatkan ada 13 pelanggaran HAM di Papua yang sudah diidentifikasi oleh tim bentukan Luhut Panjaitan semasa ia menjabat Menko Polhukam. Tim ini, kata Andreas, masih akan bekerja sampai bukan Oktober ini.

Kasus-kasus pelanggaran HAM itu meliputi pembantaian Biak pada bulan Juli 1998, ketika pasukan keamanan menembaki peserta upacara pengibaran bendera damai di Papua.

“Saat itu Panglima TNI-nya Wiranto,” kata Andreas.

Selain itu kasus pelanggaran HAM lainnya adalah yang terjadi di Wasior pada tahun 2001 dan di Wamena pada tahun 2003 yang menewaskan puluhan orang dan menyebabkan ribuan orang mengungsi.

Pelanggaran HAM berikutnya adalah pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua pada Oktober 2011 yang menewaskan tiga orang dan ratusan luka-luka.

Tim bentukan Luhut juga telah mencatat kasus pelanggaran HAM individu, seperti hilangnya Aristoteles Masoka, sopir pemimpin Papua, Theys Eluay, yang tewas dibunuh pada November 2001. Meskipun tubuh Eluay ditemukan di dalam mobilnya, dan tujuh anggota Kopassus dihukum pada tahun 2003 atas pembunuhan itu, Masoka sampai saat ini belum pernah ditemukan.

Menurut Andreas, pelanggaran HAM lainnya selama ini juga banyak diangkat oleh aktivis HAM untuk dituntaskan. Termasuk pembunuhan massal yang terjadi antara tahun 1960-an dan 1970-an, di antaranya operasi militer di 1977-1978 terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diduga melibatkan pemboman melalui udara dan penembakan massal

Para aktivis HAM Papua juga telah menyerukan penyelidikan atas pembunuhan antropolog dan musisi, Arnold Ap, pada bulan April 1984 dan pelanggaran HAM terkait dengan pelaksanaan referendum pada bulan Juli 1969 yang disponsori oleh PBB.

Andreas Harsono berpendapat kunjungan Jaksa Agung Australia dapat memberikan terobosan bagi penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.

“Persoalanya bukan hanya soal Papua. Persoalannya Wiranto itu ingin pergi ke Australia. Di sisi lain, ada dugaan ia dicekal ke Australia dan AS, karena dia ada di dalam daftar dakwaan PBB karena diduga melakukan kejahatan kemanusiaan pada 1999 di Timtim,” kata dia.

“Jadi saya kira Australia ingin memanfaatkan kelemahan Wiranto ini untk kepentingan mereka juga. Nah, pendapat saya, daripada mereka membciarakan itu, kenapa pelanggaran HAM Papua tidak dibicarakan sekalian. Saya kira ada baiknya, mumpung mereka di situ, ada Wiranto, ada Jaksa Agung Australia, dibicarakan sekalian, bagaimana Australia dapat membantu keadilan dan kebenaran bagi 13 kasus tersebut,” kata Andreas.

Editor : Eben E. Siadari

Exit mobile version