Mathias Wenda: Saya Sebagai Kepala Suku, Saya Minta Anak-Anak Yang Disuruh Pulang, Ya Pulang Saja

Mathias Wenda,

“Tanah Papua ini orang Jawa datang tanpa kami undang, dan sampai hari ini kami suruh pulang juga mereka tidak pernah pulang, tetapi kalau kalian anak-anak Papua disuruh keluar dari Yogyakarta, kalian keluar saja, pulang ke Tanah Papua. Siapa yang usir kalian dan tinggal di Jawa sana? Cari imu? Apakah ilmu tidak ada di Tanah ini?”

Surat yang dikirimkan lewat Sekretaris pribadi Mathias Wenda ini tidak menggunakan nama organisasi, tidak menggunakan pangkat, hanya menggunakan nama “Kepala Suku”, dan surat ini ditulis tangan.

Surat ini selanjutnya mengatakan,

Bapak menangis terseduh-seduh, mendengar sang Kepala Suku Jawa mengusir anak-anak, mengepuk anak-anak sama saja dengan penjahat. Dulu kan, Sultan punya Bapak juga berjuang Indonesia keluar dari Belanda, baru kenapa anak-anak yang hari ini bicara tentang “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” malah dibuat seperti pencuri?”

Tanah di Asrama Papua di Jakarta dan di Yogyakarta itukan tanah “mahar” atau “uang tangah” yang Sukarno kasih gratis, tanpa pernah dibayar, gara-gara mau ambil pulau besar kita punya. Itu bukan tanah NKRi lagi, itu bukan milik NKRI, itu tanah uang tanah pulau besar ini.

Dalam surat ini juga disebutkan bahwa anak-anak Papua secara “monggar” sudah ditolak dari Tanah Papua, dan oleh karena itu sangat logis anak-anak Papua  segera pulang dari pulau Jawa.

Menurut Wenda lagi

Kalau Presiden Indoensia yang usir, saya tahu itu memang kami lawan negara Indonesia, jadi tidak apa-apa, memang perlawanan ada resiko. Kalau tentara atau polisi yang menyinggung, itu memang tugas mereka. Tetapi kalau Kepala Suku Jawa yang suruh, ya, itu menyangkut hargadiri dan martabat bangsa Papua sebagai sebuah bangsa yang punya identitas dan harga diri, yang punya pulau besar dan tidak perlu cari makan di pulau lain. Anak-anak saya ada di Jawa bukan karena mereka cari makan. Anak-anak ini bukan cari imlu juga, mreka terpaksa ke sana karena NKRI mau mereka ke sana, karena NKRI paksa kita harus jauh-jauh ke Jawa. Cari apa di sana? Cari mati? Dimaki-maki monyet? Dimaki-maki pemabuk? Diusir?

Sekarang anak-anak harus punya sikap, mau pulang atau mau tinggal di situ. Dan kalau mau tinggal di situ, jangan melawan-melawan Kepala Suku Jawa punya mau. Kalian harus hormati beliau. Tetapi kalau kalian diusir, kalian harus pulang.

Selenjutnya kepada para pejabat yang ada di Tanah Papua, Kepala Suku Wenda menyerukan,

Anak-anak yang sekarang jadi Gubernur, jadi bupati, jadi Camat, jadi Anggota DPR provinsi dan kabupaten, “Kalian kerja apa?” Tidak tahu malu. Diusir tapi katanya “Mau ke Yogyakarta mau cek ada apa!” DPR itu tidak perlu pergi cek, berita sudah jelas, media TV dan online sudah jelas, yang mau dicek apanya?

Gubernur kenggali, kat nano eke aga’ndik? Kawuri kapuri mugogo napagi wogwe ti, woginabu. Puk lek mbakak wonage kenggali lek a?

Ketua DPR kenggali, pegiya norak nano nduk? Woginabi nanip! Wuru onggo mbanu, kapal onggo mbanu! Ap Kepala suku nen mugogo kiname nanip yorage kagak kat nano eke o?

Dalam surat tulisan tangan 5 lembar ini berisi banyak sekali doa-doa, lagu-lagu tangisan, atau dalam Bahasa Lani Papua disebut “Le Ndawi” (atau lagu ratapan bangsa) ditulis, dan juga banyak keluh-kesah disampaikan. Intinya secara “monggar” dinyatakan bahwa kami harus bersyukur, pada saat ini kami sudah diusir oleh Kepala Suku Jawa, berarti kami harus bakar batu besar-besar, bahwa NKRI semakin mendekati angkat kaki dari Tanah Papua. Karena kalau orang Papua sekian ratus diusir dari pulau Jawa, berarti orang Jawa sekian Juta yang ada di Tanah Papua juga harus diusir dari tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanesia.

Exit mobile version