Pepera 1969 di West Irian Sudah Final Karena Disahkan oleh PBB?

Retorika NKRI bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Irian Tahun 1969 adalah Final, terbantahkan secara otomatis dan tegas setelah fenomena internasional, terutama di wilayah kerajaan Inggris muncul isu-isu referendum dari politisi Scottish Natioanl Party di Skotlandia dan Irish Republican Party di Irlandia Utara, yang para politisinya mengatakan akan menyelenggarakan referendum untuk meminta pendapat rakyat di wilayah mereka, apakah keluar dari Inggris Raya ataukah tetap tinggal dengan Inggris Raya yang telah keluar dari Uni Eropa.

Selain keluarnya Inggris (Britain Exit – disingkat BREXIT) yang jelas-jelas merupakan referendum separatis dari Uni Eropa juga menunjukkan dengan gamplang dan tidak harus dijelaskan kepada siapapun bahwa referendum ialah sebuah proses demokratis di negara demokrasi untuk menentukan pendapat rakyat.

Referendum bukan barang haram, referendum adalah wajah dari demokrasi. Semua negara yang mengaku demokratis harus menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib masing-masing bangsa.

Politisi NKRI di Tanah Papua, Gubernur, para Bupati, DPRP dan para DPRD di Tanah Papua seharusnya sudah sejak awal-awal ini, menyambung gelombang referendum-referendum ini, mempersiapkan agenda-agenda seperti referendum untuk menentukan sikap rakyat Papua, secara khusus Orang Asli Papua terkait dengan berbagai isu, misalnya

  1. Sikap dukungan atau penolakan Orang Asli Papua terhadap UU Otsus Plus yang diajukan oleh Gubernur Lukas Enembe, Ketua DPRP dan Ketua MRP;
  2. Keberhasilan Otonomi Khusus di Tanah Papua sejak tahun 2001 hingga tahun 2016;
  3. Menerima/ Menolak Pendudukan NKRI di Tanah Papua.

Negara demokrasi, yang mengaku menjunjung tinggi HAM, yang mengaku menuju proses demokratisasi, secara otomatis, dan secara naluri pasti sadar bahwa referendum ialah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi dalam menentukan pilihan rakyat.

Referendum bukan barang haram, referendum bukan agenda separatis, referendum ialah agenda demokrasi, agenda modernisasi, agenda peradaban, cara bermartabat dan beradab untuk mementukan nasib, bukan dengan saling membunuh, bukan dengan saling meneror dan mengintimidasi, tetapi dengan saling mempengaruhi opini rakyat sehingga rakyat menentukan nasib mereka sendiri.

Inggris telah disahkan oleh Uni Eropa sebagai Anggotanya, diakui oleh PBB sebagai anggota Uni Eropa. Skotlandia diakui sebagai anggota Kerajaan Inggris oleh PBB. PBB juga mengakui Irlandia Utara sebagai bagian dari Kerajaan Inggris. Tetapi pengakuan PBB, pengakuan Uni Eropa itu bukanlah “Suara Tuhan”.

“Suara Rakyat, Suara Tuhan”, dalam minggu lalu Suara Tuhan katakan Inggris keluar dari Uni Eropa, maka itu telah terjadi. Minggu lalu Suara Tuhan memunculkan wacana Irlandia Utara dan Skotlandia akan menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib sendiri, yaitu merdeka dari Kerajaan Britania Raya atau bergabung ke Uni Eropa, yang artinya memisahkan diri dari negara Induk Inggris.

Tuntutan referendum di Tanah Papua tidak dapat ditolak dengan alasan pengakuan PBB dan salah fatal kalau dikatakan separatis. Malahan sikap semacam itu menunjukkan dengan terang-benderak betapa ketidak-tahuan, dan kalau boleh lebih jelas, kebodohan kita, tentang hakikat demokrasi. Kkalau kita katakan “Pepera Sudah Final”, maka kita membodohi makna demokrasi bagi diri kita sendiri. Pepera tidak Final dengan alasan demokratis yang jelas bahwa rakyat West Papua tidak pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan kalaupun sudah pernah, tidak harus berarti bahwa NKRI harga mati, karena setiap bangsa, setiap pulau, setiap rumpun yang ada di dalam NKRI berhak penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. Pengakuan PBB tidak memaksa, tidak mengikat, tidak mematikan konsep Jawa NKRI sebagai sesuatu kodrat dari Tuhan yang diwahyukan yang harus ditaati mati-matian oleh semua wilayah jajahan NKRI.

Exit mobile version