Socratez: Diplomasi Rakyat Papua Menangi Hati Dunia

Penulis: Eben E. Siadari 11:09 WIB | Jumat, 20 Mei 2016, satuharapan.com

Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)
Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan, rakyat Papua sudah memenangi hati komunitas internasional dari berbagai level. Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan diplomasi meredam isu Papua bergerak di level G to G. Sedangkan rakyat Papua bergerak dari akar rumput.

“Indonesia kalah diplomasi bermartabat, jujur, tulus, benar dan berintegritas. Rakyat Papua dipercaya dan dihormati,” kata Socratez lewat pesan pendek kepada satuharapan.com.

Dalam beberapa pekan terakhir, Socratez diundang oleh anggota parlemen Selandia Baru ke negara itu. Dalam rangkaian perjalanannya di sana, ia menjelaskan perkembangan terbaru tentang konflik Papua kepada berbagai pihak di negara itu.

Ia mencontohkan kunjungan Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Kepala BNPT Tito Karnavian, kepada tokoh politik dan gereja Inggris pendukung Papua merdeka, Richard Douglas Harries, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Harries of Pentregarth pada 11 Mei lalu. Kunjungan ini digambarkan sebagai upaya memberikan penjelasan akan kekeliruan pandangan tokoh politik dan gereja Inggris itu tentang Papua.

“Lord Harries mantan Uskup Oxford pendukung Papua merdeka adalah teman saya sudah 12 tahun sejak 2005. Beliau sudah undang saya tiga kali, dan terakhir tahun 2010. Kalau saya kunjungi UK, kami biasa ada percakapan masa depan bangsa Papua,” kata Sofyan.

“Supaya Indonesia tidak kehilangan muka, lebih baik dialog damai dengan ULMWP,” tutur Socratez. ULMWP adalah singkatan dari United Liberation Movement for West Papua, organisasi yang mewadahi berbagai kelompok pro-penentuan nasib sendiri di Papua.

Ia meyakini ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) tahun ini. “Berarti bangsa-bangsa anggota MSG, Karibia dan Afrika akan bawa masalah West Papua ke Komisi 24 PBB tentang Dekolonisasi,” ujar dia.

“Dialog damai itu jalannya. Pemerintah RI dan ULMWP harus duduk berunding dijembatani pihak ketiga,” tambah dia.

Sementara itu pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan aktivis Papua Itu Kita, Veronica Koram, dalam sebuah artikelnya di The Jakarta Post, mengatakan bahwa sudah selayaknya Jakarta berdialog dengan ULMWP, wadah bagi banyak organisasi di seluruh Papua dan memiliki mandat politik dan budaya yang sah untuk mewakili rakyat Papua.

Menurut dia, ULMWP memegang status pengamat di MSG sedangkan pemerintah Indonesia berstatus anggota asosiasi di MSG. “Jika pemerintah merongrong dan mengkriminalisasi ULMWP, itu tidak menghormati MSG sebagai forum diplomatik,” kata dia.

“Namun jika pemerintah serius berkomitmen untuk MSG, harus mengambil tawaran MSG untuk memediasi dialog damai antara pemerintah dan ULMWP,” ia menulis.

Ia mengutip pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku tidak ada masalah di Papua. Namun, kata dia, tindakannya pekan lalu ketika mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan kepada Lord Harries untuk mencoba meredam pembicaraan tentang masalah Papua justru menggambarkan ada masalah.

Apalagi bulan lalu Luhut juga pergi ke Fiji dan PNG untuk membahas Papua.

“Mengirim tokoh senior ke luar negeri dalam misi menyelamatkan muka, dan mengirimkan proxy seperti mantan presiden Timor Leste José Ramos-Horta ke Papua hanya menghindar dari akar masalah,” kata Veronica.

Padahal, menurut Veronica, akar masalahnya adalah pelanggaran HAM di Papua serta pelurusan sejarah dan kebebasan berekspresi yang dilanggar. Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus membuka dialog dengan ULMWP.

Di abad lalu, kata Veronica, mantan menteri luar negeri Ali Alatas menggambarkan Timor Timur sebagai “kerikil dalam sepatu” diplomasi bangsa Indonesia. Papua, kata dia, akan terus menjadi duri dalam daging sampai Indonesia akhirnya mendengarkan secara mendalam dan terlibat dalam dialog tentang aspirasi Papua, termasuk penentuan nasib sendiri.

Editor : Eben E. Siadari

Exit mobile version