Papua di Era Media Sosial

Penulis Amiruddin al-Alrahab – Minggu, 8 Mei 2016, geotimes.co.id

Segala hal mengenai Papua kini telah mendunia. Melampaui imajinasi di era yang sudah-sudah. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, sekalipun “borok” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang anggota legislatif Indonesia. Itu berkat kemajuan teknologi komunikasi dan dunia media sosial.

Simaklah halaman-halaman dunia maya, di situ Anda dengan mudah menemukan berbagai isu mengenai politik, hak asasi manusia, dan sekaligus perkembangan sosial-ekonomi Papua.

Era media sosial memasuki Papua bersamaan dengan munculnya generasi Y. Generasi Y di Papua adalah generasi anak kandung reformasi. Mereka bertumbuh dalam alam demokrasi yang mulai mekar di Indonesia. Demokrasi itu juga dinikmati oleh generasi Y Papua, meskipun dalam kekurangan di sana-sini.
CRV iklan baner GT

Singkatnya, sekarang ini dan ke masa depan, generasi Y Papua dengan perangkat digital di tangan tersebutlah yang akan mengendalikan opini dan persepsi mengenai Papua di semua level. Ibarat kata, generasi media sosial itulah yang sedang dan akan menjadi legiun laga informasi di berbagai palagan wacana tentang Papua.

Cobalah luangkan waktu dan simak dunia maya sejenak untuk menyimak perkembangan wacana terkini mengenai Papua. Anda akan dengan mudah menemukan gambar, foto, dan opini-opini yang sangat berbeda dari yang berkembang di media-media arus utama Jakarta.

Sekadar contoh, begitu banyak wacana mengenai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Melanesia Spearhead Group (MSG) berkembang di dunia maya tanpa media-media umum Jakarta mampu menandingi. Bahkan kini dengan mudah pula ditemukan foto-foto orang-orang membentangkan bendera Bintang Kejora dari berbagai belahan dunia. Bukan itu saja, juga ada foto-foto dengan latar berbagai orang Papua dengan bendera tersebut.

Dengan menyimak foto-foto tersebut, tampak dua hal. Pertama, untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora kini tidak diperlukan lagi tiang dan lokasi, cukup dengan sekali klik telepon genggam pintar, kemudian unduh ke Twitter, Facebook, dan Instagram, maka menyebarlah ia. Kedua, ketika foto-foto itu menyebar, tidak ada satu pun tangan hamba wet yang bisa menjangkaunya.

Melalui media sosial itu pula para generasi Y Papua dari berbagai belahan dunia berkomunikasi, berdebat, dan bersepakat. Tidak mengherankan lagi, perjalanan Benny Wenda ke Ghana, bisa dalam hitungan detik disimak di Wamena. Begitu pula yang terjadi di Tolikara, dalam hitungan detik bisa diketahui di Belanda.

Bukan itu saja. Di media sosial, segala kritik kepada kebijakan pemerintah tentang Papua juga ditemukan. Kritik itu disampaikan secara keras, gamblang, dan dengan gaya Papua pula. Segala perkembangan dunia kini juga mudah menjangkau anak-anak muda Papua. Dalam hitungan detik, peristiwa di London bisa diketahui oleh orang-orang di Wamena.

Begitu pula segala bentuk solidaritas internasional dari berbagai belahan dunia segera bisa diketahui oleh orang di pelosok Papua. Selama ada sinyal dan telepon pintar di tangannya. Singkatnya, dunia kini sudah menciut!

Artinya, kini permasalahan Papua memasuki era baru, yaitu era media sosial, era yang begitu egaliter dengan segala macam gagasan. Dunia yang egaliter itu pemainnya pun kini anak-anak muda Papua sendiri. Melalui media sosial, orang muda di Papua dengan cepat membagi dan menerima informasi. Era instruksi tunggal sudah tidak ada tempat lagi.

Nah, dalam perkembangan sedemikian itu, respons Jakarta atas perkembangan Papua tampaknya masih tertatih-tatih. Padahal dunia informasi telah berlari cepat dengan media sosial kendaraannya.

Menyembunyikan Papua dari mata dunia, atau menyembunyikan perkembangan dunia dari Papua, adalah kesia-siaan. Saya rasa Jakarta perlu bergegas. Jika tak mau tergilas di Papua. Semoga.

Exit mobile version