Majelis Rakyat Papua Protes DPRP

Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, S.H., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey menyampaikam keterangan terkait DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8). JAYAPURA – Keputusan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus, pada rapat paripurna V DPRP masa sidang II tahun 2014 di Gedung DPRP, Jayapura Kamis (21/8) malam, menuai protes keras dari MRP.

Protes itu disampaikan Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, SH., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey kepada wartawan di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8) petang.

Menurut Yoram Wambrauw, tindakan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam. Padahal hal ini sangat hakiki atau mendasar bahwa Gubernur dan DPRP ternyata mensahkan beberapa Raperdasus menjadi Perdasus dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yakni tak melalui pertimbangan dan persetujuan MRP sebagai salah-satu unsur penyelenggara pemerintah di Papua dalam rangka Otsus Papua yang mempunyai tugas dan fungsi pokok bagaimana MRP harus dalam pelbagai aspek memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua benar-benar terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya.

Adapun Raperdasus yang disahkan menjadi Perdasus masing-masing Reperdasus tentang keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan atau Raperdasus 14 Kursi Otsus, Reperdasus tentang program strategis pembangunan ekonomi dan kelembagaan kampung. Reperdasus tentang penanganan khusus terhadap komunitas adat terpencil, Reperdasus tentang tata cara pemberian pertimbangan Gubernur terhadap perjanjian internasional.

Menurut Yoram Wambrauw, adalah menjadi sebuah hak konstitusional berdasarkan kewenangan atributif didalam UU No. 21 tahun 2001 atau UU Otsus Papua bahwa MRP mempunyai kewenangan antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang diajukan Gubernur atau DPRP.

Klausal ini adalah sebuah klausal yang secara yuridis konstitusional formal merupakan kewenangan atributif yang tak boleh dilanggar oleh siapapun,” tegas Yoram Wambrauw.

Karena itu, tutur Yoram Wambrauw, proses pengesahan 4 Perdasus tersebut adalah sebuah hal yang bertentangan dengan hukum dan dapat batal demi hukum, karena melanggar UU Otsus pasal 21 ayat 1 huruf c dan Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2008 tentang MRP dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan Raperdasus terhadap oleh MRP. Juga bertentangan dengan Perdasus No.4 tahun 2008 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP serta bertentangan dengan Perdasus No. 10 tahun 2010 tentang tata cara pembentukan Perdasus yang dibuat oleh DPRP dan bertentangan dengan Perturan MRP No. 3 tahun 2011 tentang tata tertib MRP tentang tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus.

“Artinya dari aspek hukum yuridis formal ini DPRP dan Gubernur dalam hal ini karena jabatan secara kelembagaan sudah melakukan pelanggaran hukum yang sangat serius,” ujar Yoram Wambrauw, seraya menambahkan, padahal kita sedang berproses bagaimana memperkuat UU Otsus Plus”.

Yoram Wambrauw mengutarakan, proses pembentukan Otsus Plus adalah perluasan kewenangan dan pendalaman tentang kewenangan itu sendiri dan penguatan-penguatan terhadap lembaga penyelenggaraan pemerintahan di daerah Gubernur, DPRP, MRP, Bupati/Walikota dan seluruh penyelenggara pemerintah di Tanah Papua baik di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah menjadi sebuah realitas hukum bahwa kekhususan di Papua menurut UU Otsus jo UU No. 35 tahun 2008 yang kemudian dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 8 PUU tahun 2010 bahwa kekhususan Otsus di Papua ada 4 hal.

Pertama, adanya peraturan MRP yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Otsus ini. Kedua, adanya DPRP yang mempunyai nomenklatur yang berbeda dengan DPRD Provinsi diseluruh Indonesia.

Ketiga, adanya pengangkatan anggota DPRP diluar pemilihan di Provinsi Papua yang berbeda dengan Provinsi lain.

Keempat, adanya Perdasus yang menurut MK merupakan kekhususan di Tanah Papua. Kelima, adanya Gubernur dan Wagub orang asli Papua. “Lima hal ini yang menjadi ciri khusus tentang eksistensi Otsus di Tanah Papua,” tukas Yoram Wambrauw.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, ketika kekhususan ini diabaikan oleh penyelenggara pemerintah itu sendiri sangat tak etis karena mengabaikan aturan-aturan hukum dan berbuat segala sesuatu hanya karena waktu.

Barangkali DPRP mendorong ini untuk segera diproses karena waktunya akan berakhir. Padahal Raperdasus 14 Kursi itu sudah diajukan tahun 2010 lalu,” ujar Yoram Wambrauw.

Yoram Wambrauw menerangkan, keprihatinan dengan proses disahkan Raperdasus menjadi Perdasus bahwa MRP kemudian diabaikan dan tak dihargai untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus. Padahal kehadiran MRP adalah dalam rangka melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

“MRP ada untuk memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua akan terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Manakala proses-proses ini tak melibatkan MRP, maka menjadi pertanyaan apakah memang proses regulasi ini akan memberikan jaminan hukum bagi orang asli Papua atau tidak karena belum dipertimbangan dan disetujui MRP.

Disisi lain, tambah Yoram Wambrauw, keprihatinan ini juga menyangkut prosedur yang ditempuh bahwa pada 13 Agustus lalu menurut Perdasus No. 4 tahun 2008 bahwa Raperdasus 14 Kursi itu disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan naskah draft Raperdasus dari DPRP ke MRP.

Tapi nyatanya yang selama ini berlangsung adalah DPRP hanya menyuruh Anggota dan Stafnya datang draft-draft itu diisi dalam map dan diserahkan begitu saja,” lanjutnya .

Dikatakan Yoram Wambrauw, MRP mempunyai batas waktu membahas itu selama 30 hari. Kalau 30 hari kedepan tak memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dianggap disetujui. Padahal ini masih dalam rentang waktu untuk bisa dibahas, sementara masih dalam proses untuk dibahas oleh MRP, tapi keburu disahkan DPRP.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, inilah beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama bahwa ternyata pada sisi ini ingin untuk menguatkan UU Otsus dalam rangka perlindungan, pemberdayaan, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tapi pada sisi lain proses-proses yang dilakukan secara faktual tak menujukan adanya konsitensi dan adanya keberpihakan kepada orang asli Papua.

Apa sanksi yang bisa ditujukan kepada DPRP, karena telah melampaui kewenangan MRP, ujar Yoram Wambrauw, MRP tak mempunyai sanksi, tapi yang jelas bahwa dari aspek hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan memang bisa MRP yang melakukan gugatan. Namun masyarakat bisa melakukan gugatan, ketika memandang bahwa proses yang dilakukan tak sah. Bisa sah kalau dari aspek hukum kewenangan MRP diabaikan dalam proses ini berarti itu batal demi hukum. “Artinya 4 Perdasus ini tak bisa diundangkan, tak boleh diundangkan dan tak boleh dilaksanakan,” jelas Yoram Wambrauw. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:05, BinPa

Exit mobile version