Perubahan UU Otsus Dinilai Inkonstitusional

JAYAPURA—Perubahan atas UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua menjadi UU No 35 Tahun 2008 terutama pada pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP, namun demikian, setelah UU No 21 Tahun 2001 diubah menjadi UU No 35 Tahun 2008 pasal ini dihilangkan.  

Hal ini dinilai inkonstitusional atau melanggar aturan dalam sistim perubahan terhadap perundang- undangan atau terindikasi adanya inkonstitusional terhadap perubahan atas Perpu yang diperkuat UU No 35 Tahun 2008.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi DPRP Albert Bolang SH MH kepada Bintang Papua diruang kerjanya, Rabu (25/8) kemarin terkait rencana DPRP mengajukan Judicial Review terhadap UU No 21 Tahun 20010 tentang Otsus Papua. Menurut dia, perubahan ini bukan merupakan suatu kesepakatan antara pemerintah daerah Provinsi Papua dengan pemerintah pusat untuk melakukan suatu perubahan.

Dia mengatakan, inkonstitusional karena perubahan terhadap hal hal mendasar terkait Otsus di Papua ini semestinya antara eksekutif dan legislatif bersama pemerintah pusat, terhadap UU ini harus ada semacam kesepakatan melakukan perubahan. “Tapi pada saat ini kan kita tahu dan sekarang sudah terbuka semua rakyat sudah tahu bahwa perubahan terhadap UU Otsus tanpa sepengetahuan dari rakyat dalam hal ini eksekutif dan legislatif sebagaimana pengakuan Gubernur Papua dan Ketua DPRP,” tukasnya.

“Ini betul betul inkonstitusional sehingga kalau itupun dilakukan Judicial Review akan dibuka secara hukum apakah memang perubahan ini betul betul didasari dengan misalnya adanya paripurna di DPRP kemudian itu didorong ke pemerintah pusat untuk dilakukan perubahan.”

Dia menambahkan, kalau itu tak ada bisa saja hakim akan menilai apa landasannya sehingga perubahan atas UU Otsus ini dilakukan secara serta merta tanpa ada pemberitahuan resmi.

Menurutnya, siapapun mempunya hak untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang undangan ataupun dalam bentuk peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Pengunjian ini materinya adalah lebih kepada bagaimana konsitensi daripada UU itu sendiri karena ada tata urutan perundang undangan dimana setiap produk hukum itu tak boleh bertentangan dengan UU lainnya atau roh yang ada didalam UU tersebut

Dijelaskannya, upaya Judicial Review ini adalah upaya selain pembelajaran hukum juga sebagai upaya upaya politik untuk kepentingan Papua terkait dengan konsitensi UU No 21 Tahun 2001. Pasalnya, kalau direkam jejak pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 sesungguhnya UU ini boleh dikatakan sebagai UU yang diterbitkan dengan tak begitu matang dalam artian karena memang lahirnya UU Otsus ini disaat gelombang tuntutan rakyat untuk keluar dari NKRI dan membentuk suatu negara merdeka dan berdaulat sehingga pemerintah pusat memberikan Otsus Papua.

Dituturkan, ada pembandingnya UU No 18 Tahun 2001 dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) pada tahun 2006 dilakukan perubahan tapi ada dasar atau legal standingnya jelas atau posisi dari kedua pihak ini jelas pemerintah NAD dan pemerintah pusat pada saat itu sepakat untuk melakukan suatu perubahan.

Tapi, katanya, pada UU Otsus tidak legal standing kedua pihak ini untuk melakukan perubahan terhadap UU tak ada apalagi setelah ditelusuri kedalam bersama Komisi A DPRP terhadap pelaksanaan perubahan itu sama sekali tak memiliki landasan hukum yang jelas.

“Sebagai hak dari rakyat Papua untuk melakukan Judicial Review saya pikir hukum menjamin itu soal nanti keputusan politik dan hukum seperti apa tapi sebagai upaya upaya hukum sebagai kita negara hukum ini kita harus secara terbuka melihat itu dan itu tak serta merta semua itu menjadi kepentingan tertentu dan kemudian didorong melakukan perubahan,” tuturnya. (mdc)

Exit mobile version