18 Warga Suku Terasing Ditangkap

JAYAPURA — Aparat kepolisian Waropen menangkap 18 orang warga suku terasing di Kabupaten Waropen. Mereka ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi pengrusakan Kantor KPU Waropen pada 2 Juli lalu. Mereka marah lantaran kecewa dengan sikap KPU Waropen yang dinilai tidak memenuhi tuntutan mereka agar mau menjelaskan alasan tidak lolosnya pasangan Drs. Ones J Ramandey dan Drs. Zet Tanati dalam proses verifikasi.

Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua saat ini turun tangan guna menelisik peyebab kisruh pemilukada Waropen ini, terutama berkaitan dugaan sejumlah tahanan sakit karena menerima perlakuan kasar. "Atas kewenangan yang diberikan undang-undang, maka Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua menindaklanjuti laporan pengaduan atas proses verifikasi calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen Tahun 2010 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Waropen terhadap tujuh bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang diumumkan 1 Juli 2010 lalu," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, Matius Murib dalam keterangan persnya di Kantor Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, kemarin (13/7).

Dijelaskan Matius, dari informasi yang diperoleh dari warga yang ditangkap, sebenarnya mereka tidak mau melakukan pengrusakan. Tapi karena ketua dan anggota KPU Waropen terkesan menghindar dan tidak mau peduli atas permintaan warga agar KPU Waropen menjelaskan kenapa pasangan yang didukungnya itu tidak lolos dalam verifikasi, sehingga mereka kemudian melakukan pengrusakan.

Komnas HAM mempertanyakan penangkapan 18 warga suku pedalaman itu. "Mereka kan korban dari politik, bukan para pelaku politik murni. Seharusnya semua tahanan diperlakukan sama. Itu namanya sudah pelanggaran HAM, sebagaimana didalam UU 39 Tahun 199 pasal, 17, 18 dan pasal 43," tegasnya yang didampingi oleh dua anggota Komnas HAM lainnya, yakni Johari dan Adriana Wally.

Matisu membeberkan kronologis kejadian. Dijelaskan, kasus ini bermula dari pengumuman hasil pleno verifikasi bakal calon bupati dan wakil bupati Waropen Tahun 2010 1 Juli 2010 lalu yang membuat Tim Sukses dan partai pengusung Balon Bupati Drs. Ones J Ramandei dan Wakil Bupati Set Tanati, mengirim surat kepada Polres Waropen untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai tanda protes atas hasil verifikasi yang diumumkan oleh KPU Waropen. Oleh pihak Polres Waropen surat ijin/pemberitahuan tersebut dinilai tidak lengkap sebab tidak mencantumkan jumlah massa dan apa tuntutannya.

Pengumuman hasil verifikasi itu dikirim lewat surat kepada bakal calon. Atas pengumuman hasil verifikasi tersebut, terjadi aksi orasi secara spontanitas. Atas sikap reaktif kelompok masyarakat maka tanggal 1 Juli 2010, Polres Waropen melakukan evakuasi terhadap 5 orang Anggota KPU untuk diamankan di Kantor Polres Waropen. Kemudian 2 Juli 2010, patut diduga terjadi mobilisasi massa menggunakan kendaraan roda empat dengan membawa alat panah, parang dalam melakukan aksi yang ditujukan ke kantor KPU Kabupaten Waropen.

Aksi massa yang di tujukan ke Kantor KPU tidak dapat dihalangi oleh pihak Kepolisian. Kemudian massa Atas aksi penyerangan ke Kantor KPU mengakibatkan kerusakan kaca lover pecah dan dinding kantor mengalami kerusakan, dan sejumlah kursi rusak. Atas aksi brutal warga masyarakat sipil yang tidak mendapat keterangan dari KPU Waropen, maka pihak Polres mengeluarkan tembakan peringatan. Sebab ada perkelahian antara kelompok masyarakat sipil.

Setelah melakukan aksi di kantor KPU, warga masyarakat sempat berkumpul di Kantor Koramil Waropen dan berbincang dengan DANRAMIL Waropen, yang sempat memberikan arahan kepada masyarakat sipil. Namun datang seorang anggota TNI dan mengusir masyarakat keluar dari halaman kantor Koramil. Saat berada di jalan terjadi insiden perkelahian antara Ivan Imbiri dan Ferat Imbiri akibat perselisihan pendapat diantara mereka berdua, dan bukan perkelahian dengan kelompok masyarakat di luar. Saat itu polisi datang dan mengambil langkah pengamanan yang diduga represif kepada masyarakat sipil dalam kelompok aksi demonstrasi tersebut yang mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka dan penganiayaan.

Berikutnya pada 3 Juli 2010, Kapolres melakukan dengar pendapat dengan DPRD, dan Kapolres menyampaikan kronologi kejadian. Dan melakukan koordinasi dengan KPU, Panwas tentang pencabutan nomor urut dan atas permintaan KPU dan Panwas agar pencabutan nomor urut dilakukan di Kantor Polres. Meski Kapolres mengusulkan agar pencabutan dilakukan di DPRD Waropen. Dengan pertimbangan situasi keamanan yang belum normal dan kewenangan diskresi kepolisian, maka dilakukan pencabutan nomor urut pada tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen yang diamankan oleh 3 pleton Dalmas.

Atas insiden tanggal 2 Juli 2010, Polisi mengamankan 18 warga dengan sejumlah barang bukti untuk diproses hukum. Dua orang diantaranya dikembalikan sebab tidak cukup bukti, sedangkan dua orang perempuan yang terlibat dalam aksi tersebut atas pertimbangan khusus maka dilepas, namun yang bersangkutan wajib lapor setiap hari kepada Polisi.

Diantara mereka yang diamankan memiliki Kartu Tanda Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Terhadap permasalahan itu, kata Murib, bahwa, pihaknya menemukan sejumlah masalah, diantaranya, pertama, penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Waropen tidak berjalan normal pasca pengumuman hasil verifikasi bakal calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU Waropen pada 1 Juli 2010 itu.

Dikatkan juga, berdasarkan pantauan Komnas HAM, pengendalian situasi keamanan belum mengedepankan pola-pola komunikasi yang persuasif demi menghindari terjadinya gesekan antara kelompok yang mengakibatkan keterlibatan pihak kepolisian. Matius berharap, pihak Kepolisian Resort Waropen harus bisa memberikan rasa aman kepada KPU untuk bekerja di Kantor KPU bukan sebaliknya aktivitas, jadwal KPU dilakukan di Kantor Polres Waropen.

Disebutkan juga, terdapat beberapa tahanan yang mengalami sakit yang diduga akibat tindakan represif aparat kepolisian pada tanggal 2 Juli 2010. Kelima, kantor KPU dalam keadaan rusak dan beberapa kaca jendela, kursi serta ruangan berantakan, dan kini sedang dipasang tanda larangan Polisi, sehingga tidak ada aktivitas KPU.

Ditambahkannya, berdasarkan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Waropen, Nomor: 01/Kpts/KPU-KW/2010, tentang Perubahan tahapan program dan jadwal waktu penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Waropen Tahun 2010, patut diduga KPU tidak memberikan kesempatan perbaikan kepada partai pengusung atau calon perseorangan untuk melakukan perbaikan atas hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU.

Selian itu disebutkan juga, parpol pengusung yang memiliki dua versi kepengurusan tidak dilibatkan dalam melakukan uji keabsahan kepengurusan sebagai mana ketentuan Pasal 7 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa yang berhak mengusung pasangan calon adalah kepengurusan partai politik di tingkatan itu. Apakah kepengurusan itu absah/ legitimate? Berdasarkan Pasal 50 ayat 2 Peraturan KPU 68 Tahun 2009 dicek siapa yang berwenang mengesahkan kepengurusan di tingkat kabupaten, kemudian dicek apakah pengurus Provinsi sah atau tidak, dan kemudian mengecek keabsahan pengurus pusat dengan merujuk pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang terakhir.

"Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua telah mengeluarkan rekomendasi untuk disampaikan kepada pihak terkait, yang isinya pertama, mendesak KPU Provinsi Papua dan KPU Pusat di Jakarta untuk segera melakukan klarifikasi antara KPU Waropen dan Partai Pengusung PAN yang hak politik untuk mengusung kandidat bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen tahun 2010 dihilangkan oleh KPU Waropen," ujarnya.

Rekomendasi kedua, patut diduga KPU Waropen tidak melaksanakan verifikasi berdasarkan jadwal dan mekanisme yang di tetapkan oleh KPU Waropen sehingga berpotensi terjadi diskriminasi. Dan agar Polres Waropen memberikan jaminan hak-hak para tahanan dalam mendapat pengobatan.

"Patut diduga Polres Waropen melakukan tindakan intervensi dalam pelaksanaan tahapan pemilukada, pencabutan nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen sehingga diminta kepada Kapolda Papua untuk memberikan arahan kepada Kapolres Waropen," ungkapnya.

Komnas HAM berharap Bupati dan Muspida Kabupaten Waropen untuk dapat berkoordinasi secara baik, demi tercipta situasi keamanan dan pelayanan publik yang kondusif bagi terpenuhinya hak-hak masyarakat di Kabupaten Waropen. Terhadap para tahanan yang diduga melakukan tindakan kriminal untuk diminta agar ditangani secara hukum dengan cara profesional dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Waropen. Terutama mereka yang mayoritas berasal dari masyarakat suku terasing (Demisa di Botawa).

Terakhir, Komnas HAM berharap, jika sengketa Pemilukada seharusnya dibawa saja ke ranah hukum, jangan dengan membuat gerakan massa yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri. (nls/fud/sam/jpnn)

Exit mobile version