Analisis Politik: Internasional, Indonesia, Tanah Papua [Share]

Submitted by admin on Jumat, 27 Februari 2009No Comment

To All Of My Comrade in Arms….

Saya sampaikan analisis politik berikut untuk dikritisi, saya yakin masih banyak kekurangan tetapi analisis politik diperlukan untuk mengkonstruksikan program-program politik yang tepat untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

Analisis politik ini pernah disampaikan kepada peserta dan kader Front PEPERA PB yang melakukan Rakernas pada tanggal 9 – 12 Oktober 2008 di Port Numbay.

Salam Hangat,
Hans Gebze

Situasi Politik Internasional

Analisis ini dilakukan guna memetakan secara jelas fenomena politik global yang mulai mengkerucut kedalam era baru politik perang dingin pasca terjadinya perang terbatas antara Rusia dan Georgia, selain itu perang melawan terror atau war on terror yang dikembangkan Regime G.W Bush dari AS di kawasan Teluk juga memberikan dampak yang jelas bagi terbangunnya aliansi-aliansi taktis dari para pihak yang bertikai.

Sebagai contoh, Iran adalah sebuah negara yang memiliki minyak bumi sebagai kekayaan nasional sangat berlimpah sehingga keberadaan AS dan sekutunya serta tentara mereka yang beroperasi di wilayah teluk secara politik berpengaruh terhadap eksistensi Iran sebagai negara merdeka dari kemungkinan diduduki oleh AS seperti pada Irak dan Afghanistan, sebagai akibatnya, Iran mencari kawan politik untuk menandingi hegemoni atau pengaruh AS dikawasan Teluk, secara tradisioanal Rusia dan China adalah kawan politik Iran dan Venezuela yang memiliki pengaruh politik di kawasan Amerika Latin juga kali ini telah membangun hubungan taktis dengan Iran.

War on terror dari AS dan para sekutunya jelas merupakan perang untuk menguasai sumber-sumber energy dunia dimana kekayaan energy [minyak] tersebut sepenuhnya berada dibawah kendali negara-negara teluk seperti Irak [pada waktu Sadam Hussein berkuasa] dan Iran serta negara-negara di Jazirah Arab seperti Arab Saudi dan kawasan Arab Magribi seperti Libya serta beberapa negara dikawasan Kaukasia dan Balkan yang berada dibawah pengaruh Rusia sebagai salah satu produsen energy terbesar dunia serta negara-negara dikawasan Amerika Latin dengan Venezuela sebagai pemimpin produksi energy. Wilayah-wilayah sumber energy ini berada ditangan negara-negara yang tidak pro AS, maka AS menghalalkan berbagai cara untuk menguasainya, salah satu metode yang digunakan adalah dengan politik “perang melawan terror” atau “war on terror” tadi.

Roda-roda industry dinegara industry maju [Amerika, Uni Eropa, China, Rusia dan Jepang] dan negara industry baru [Korea Selatan, Singapura, India, Australia, dll] dalam menjalankan mesin-mesin produksinya harus menggunakan energy [minyak] sebagai sumber penggerak mesin utama industry, sehingga untuk memenuhi hal tersebutlah sengketa atas penguasaan aset minyak dunia mengemuka selama 10 tahun terakhir pasca berakhirnya era booming minyak pada tahun 1970 – 1980-an.

Karena kelangkaan minyak bumi dan untuk mengurangi ketergantungan negara-negara industry akan penggunaan minyak bumi sebagai bahan utama penggerak mesin industry, telah mulai dikembangkan metode penggunaan energy primer selain minyak bumi, yaitu gas alam cair [LNG] yang bisa disublimasi menjadi minyak untuk menggerakkan sector industry.

Minyak bumi telah menjadi barang langkah, sedangkan minyak bumi menentukan gerak maju proses  industrialisasi sebuah negara sehingga ia menjadi barang langka yang diperebutkan banyak pihak yang tergantung kepadanya dan AS adalah konsumen atau pemakai terbesar energy dunia hari ini, dengan total konsumsi nasional sebesar 40 persen dari hasil produksi minyak dunia. Dengan demikian menjadi wajar jika AS memiliki mental aggressor dalam hal menguasai sumber-sumber energy dunia diluar wilayah AS karena kebutuhan energy domestiknya yang sangat besar.

Tanah Papua memiliki sumber-sumber energy primer [minyak bumi dan gas alam] yang melimpah dan Sejak jaman Belanda NNGPM, sebuah kongsi dagang dibidang pengeboran minyak, telah menggali sumur-sumur minyak di Tanah Papua, salah satunya yang terbesar berada di Sorong dan produksi minyak ini dilanjutkan oleh Pertamina [Indonesia] – Duth Shell [Belanda] dan Petro China, masih berproduksi sampai saat ini.

Telah ditemukan juga gas alam cair atau Liquid Natural Gas / LNG [diperkirakan terbesar di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik] di Tanah Papua, yaitu LNG Tangguh di Teluk Bintuni. British Petrolieum dari Inggris selaku pemegang saham utama telah membangun mega proyek LNG Tangguh senilai US$ 5 milyar dollar sebagai ladang gas alam cair [LNG] potensial dengan kandungan mencapai 14,4 Trilyun Kaki Kubik.

Tanah Papua potensial dalam hal kandungan alamnya [sumber energy dan pertambangan strategis] sehingga menjadikan wilayah ini sebagai wilayah yang panas oleh karena perebutan kepentingan ekonomi diantara para pemilik modal internasional yang telah mendorong pemerintahan mereka untuk membuat berbagai kebijakan luar negeri mengenai Tanah Papua dari sudut yang menguntungkan posisi ekonomi mereka.

Amerika Serikat [dengan kepemilikan Freeport di Timika Papua, dan General Electric serta Saipem di proyek LNG Tangguh], China [dengan China National Offshore Oil Corporation menanam modal di LNG Tangguh], Inggris [dengan BP sebagai operator utama LNG Tangguh], Jepang [dengan Nippon Oil Exploration Limited –  Japan Oil, Gas and Metals National Corporation – Kanematsu Corporation – Mitsui & Co. Ltd. – Sumitomo Corporation – Sojitz Corporation – Mitsubishi Corporation – INPEX Corporation – adalah korporasi global milik Jepang yang menanam modal di LNG Tangguh] dan korporasi modal Korea Selatan juga sebagai penanam modal di LNG Tangguh adalah negara-negara dan korporasi modal internasional yang sudah masuk Tanah Papua untuk mengeruk kekayaan dari sumber-sumber energy primer [Liquid Natural Gas] yang dimiliki Tanah Papua.

Suka atau tidak suka, kita berada dalam jangkauan dan cengkeraman jaringan korporasi modal global yang sedang mengambil kekayaan alam kita tanpa kita merasakan manfaat darinya. Dengan demikian War on Terror regime G.W Bush yang berkecamuk diwilayah Irak dan Affhanistan sesungguhnya juga secara ekonomi dan politik berpengaruh pada posisi perjuangan politik Bangsa Papua yang memiliki Tanah dengan kekayaan energy yang melimpah.

Bagian ini menjadi pembuka untuk mengantarkan analisis lebih jauh mengenai konflik-konflik ekonomi dan politik internasional, peran negara-negara dibalik konflik tersebut, dampak yang dihasilkan terhadap peradaban dunia termasuk Tanah Papua, kebijakan luar negeri yang dihasilkan, dan akhirnya posisi politik luar negeri mereka secara khusus dalam mendukung Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat, selanjutnya dalam analisis ini disingkat GPNPB.

Perang Energy

Peristiwa 11 September 2001 telah merubah wajah dunia, tidak saja memunculkan AS sebagai kekuatan tunggal dunia yang sangat dominan tetapi juga menjadikan wilayah-wilayah lain yang menjadi incaran telah menjadi korban dari sebuah perang atas terhadap terror.

Dengan dukungan mayoritas rakyat, Senat dan DPR AS yang secara psikologis tertekan dibawah baying
-bayang terorisme, akhirnya pemerintahan Bush melakukan apa yang dikenal dunia sebagai “perang melawan terror” atau “war on terror” demi memburu seorang Bin Laden dan menghancurkan jaringan terror yang dimilikinya.

 

Pada waktu itu Bush menuding Irak, Afghanistan dan Iran sebagai Axis of Evil alias sekutunya iblis yang memilkiki kekuatan politik untuk mendukung gerakan Osama Bin Laden sehingga negara-negara ini pantas mendapat hukuman setimpal dari pemerintahan Bush, demikianlah picu konflik internasional muncul kehadapan dunia.

Dick Cheney, seorang konservatif kanan dan salah seorang dari koneksi korporasi perminyakan AS yang menjadi wakil presiden AS, adalah tokoh sentral dan konseptor dibalik war on terror pemerintahan Bush dan yang secara efektive mampu mempengaruhi kebijakan politik luar negeri AS pasca tragedy 9/11.

Tuduhan terhadap Irak dan Iran agak samar karena memang Osama Bin Laden tidak pernah secara terbuka berhubungan langsung dengan presiden Sadam Hussein waktu itu ataupun dengan para mullah yang memimpin Iran, Afghanistan jelas mengakuinya dan regime Taliban adalah regime yang telah mendeklarasikan Afghanistan sebagai negara Islam dengan menjalankan syariat Islam secara ketat bagi rakyatnya.

Dengan dukungan penuh dari korporasi perminyakan AS, pemerintahan Bush akhirnya memulai perang terbuka dengan menginvasi dan menduduki Aghanistan, menggulingkan pemerintahan yang berkuasa dibawah kekuasa kaum Taliban dan membentuk pemerintahan transisi dibawah kepemimpinan presiden Hamid Karzai. Yang menjadi tujuan antara dalam perang tersebut adalah memburu Osama Bin Laden tetapi gerakan perang AS di Afghanistan juga adalah untuk menghancurkan pemerintahan yang tidak pro Barat, dalam hal ini AS, sehingga pemerintahan Taliban menjadi sasaran tembak dari mesin-mesin perang AS.

Tujuan sesungguhnya dari politik perang AS di Afghanistan adalah untuk membuka jalan bagi kepentingan energy [minyak bumi dan gas alam cair] bagi AS dari wilayah Kaukasia dan Afghanistan pada waktu itu berada dibawah kendali pemerintahan Taliban.  Dalam kendali regime Taliban, AS tidak memiliki akses politik di Afghanistan sehingga rencana ekonomi mereka untuk membangun jaringan PNG [pipe line gas] dan pipa minyak untuk mengalirkan minyak bumi dan gas alam cair dari wilayah-wilayah Kaukasia, antara lain Kirgistan dan Tajikistan, tidak berlangsung mulus, rencana pembangunan Pipa Gas dan Minyak Bumi itu akan dibangun dari Kirgistan melewati Aghanistan dan mengalirkan Minyak dan Gas Alam itu ke pelabuhan dagang AS di Pakistan. Namun karena terhambat oleh keberadaan regime Taliban di Afghanistan maka jalan paling efektif adalah menghancurkan penghalangnya, demikianlah akhirnya Afghanistan menjadi medan perang AS.

Drama perang belum berakhir, berdasarkan nasihat para penasehat keamanan Bush, AS yang telah sukses menghancurkan sasaran antara, yaitu Afghanistan, pasukan AS kemudian menyerbu Irak, kali ini bukan karena keberadaan Bin Laden di negara ini tetapi merupakan agenda pokok para penasehat perang Bush [korporasi perminyakan AS] yang sudah ngiler mengambil untung dengan menguras ladang-ladang minyak bumi di Irak.

Dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah masal yang dimiliki Irak dibawah kepemimpinan Sadam Hussein, AS akhirnya membenarkan propagandanya untuk melakukan perang melawan Irak. Tetapi kemudian, seperti kita ketahui, hasil investigasi badan atom internasional [International Atomic Energy Association, IAEA] akhirnya membuktikan bahwa Irak tidak memiliki hulu ledak nuklir seperti yang ditakutkan AS.

Lalu mengapa AS ngotot serang Irak? Tujuannya adalah untuk mengambil minyak bumi yang ada di Irak untuk kebutuhan konsumsi energy dalam negeri AS, inilah dia pangkal masalahnya! Irak diduduki, rakyat Irak dikorbankan, banyak pula tentara AS mati sia-sia, dan hasilnya masih tetap nol. AS belum bisa mengambil keuntungan secara mutlak di Irak karena perang masih berkecamuk, bahkan konflik horizontal diantara rakyat Irak muncul dan tentara AS yang berada ditengah-tengahnya menjadi korban dari perlawanan rakyat Irak, inilah sebuah kenyataan politik yang tidak bisa dihindari.

Politik perang AS terus berpendar dan yang berada didepan telunjuk AS kali ini adalah Iran. Sudah diketahui awam, Iran adalah negara penghasil minyak terbesar ketiga di dunia setelah Arab Saudi diurutan pertama dan Rusia diurutan kedua. Dengan alasan yang sama terhadap Irak, AS juga memainkan kartu as yang sama, yaitu menuduh Iran memproduksi senjata pemusnah masal, yaitu nuklir. Tuduhan belum terbukti dan AS terus membuka konfrontasi politik secara terbuka dengan Iran dalam wilayah diplomasi internasional. Tetapi dalam hal Iran, AS agak hati-hati karena Iran didukung oleh Rusia dan China serta blok politik Amerika Latin yang dipimpin oleh Hugo Chaves dari Venezuela.

Pada akhirnya sudah kita ketahui jelas. Politik perang yang dikembangkan AS diwilayah Teluk, konfrontasi politik dengan Iran dan determinasi politik AS dalam perang terbatas Rusia di Georgia adalah merupakan produk dari keinginan AS untuk mengontrol produksi dan penjualan minyak dunia. Sudah jelas pula bahwa perang AS kali ini adalah perang energy, sebuah perang atas keinginan menguasai sumber-sumber energy di muka bumi.

Dunia Yang Terbagi Dua

Konflik Rusia dan Georgia telah lama mencuat, pasalnya Georgia yang dianggap Rusia sebagai kaki tangan Barat diwilayah pengaruhnya menguasai dua wilayah produsen minyak, yaitu South Ossetia dan Akbhazia. Dua wilayah ini dianggap Georgia sebagai wilayah yang berada dibawah kedaulatan politiknya, tetapi tidak demikian anggapan Rusia.

Gesekan politik yang telah lama terjadi akhirnya tidak bisa dihindari dengan terjadinya pergerakan pasukan Rusia untuk menduduki South Ossetia dan Akbhazia yang sebelumnya berada dibawah control tentara Georgia, meletuslah perang terbuka antara Rusia vs Georgia.

Negara-negara Barat yang dipimpin AS memperingati Rusia agar menarik kembali pasukannya dari kedua wilayah yang diduduki tetapi pemerintah Rusia menolak dengan tegas. Sebagai reaksi atas sikap politik Rusia, AS mengirimkan kapal perangnya yang beroperasi diwilayah Mediterania, kapal tersebut bergerak ke Laut Hitam dan melakukan maneuver-manuver didedekat keberadaan militer Rusia, tentu saja hal ini bukan mengurangi ketegangan politik di Georgia tetapi malah membuat semakin rumit.

Rusia tetap bertahan di South Ossetia dan Akbhazia, dua wilayah yang diklaim Georgia sebagai miliknya, dan sebagai balasan atas tindakan militer AS, Rusia kemudian mengirimkan beberapa kapal perangnya ke perairan Karibia bertepatan dengan pelatihan militer bersama yang digelar oleh Venezuela.

Inilah pergerakan militer pertama Rusia didekat wilayah kekuasaan AS semenjak 40 tahun lalu pada masa berlangsungnya perang dingin antara Blok Barat dan Timur. Ini mungkin jawaban Rusia atas kedatangan kapal perang AS diwilayah pengaruh Rusia. Ko ganggu sa, sa juga bisa pusing ko! Begitulah kira-kira manuver militer dan politik yang dimainkan kedua negara.

Blok politik Amerika Latin yang makin kuat di bagian selatan Amerika Serikat dan kehadiran kapal-kapal perang Rusia pada saat latihan militer bersama yang digelar oleh Venezuela di perairan Karibia jelas berpengaruh dan menjadi ancaman baru baru bagi keamanan nasional AS.

Ketegangan politik antara AS dan Rusia oleh karena perang Georgia telah menyebabkan mengkerucutnya pertalian politik antara pihak-pihak yang selama ini menolak hegemon
i politik AS. Rusia, China, Venezuela dan Iran jelas telah membagun poros politik dunia baru yang kuat untuk membentengi diri dari ekspansi politik AS dan Uni Eropa [negara-negara Barat], walaupun China secara samar-samar berada dibalik poros politik yang baru itu, tetapi keberpihakkan China jelas terlihat dengan berbagai keputusan diplomatisnya ditingkat Dewan Keamanan PBB, misalnya soal Iran.

Dengan melihat berbagai fenomena politik global diatas, jelas pula bagi kita untuk mengamati geo-politik dunia yang telah bergeser kearah yang jelas seperti pada waktu dunia berada pada masa politik perang dingin antara block Barat [AS-UE] dan block Timur [Uni Soviet – China].

Terbangunnya aliansi Rusia-Venezuela-Iran-China telah memperjelas posisi politik dunia yang terbagi kedalam medan politik internasional baru yang lebih berimbang dengan mengurangi peran dan hegemoni politik AS ditingkat global.

Posisi Politik Negara Dunia Terhadap GPNPB

Upaya-upaya diplomasi yang dibangun oleh Organisasi Papua Merdeka [OPM] dan berbagai sayap politiknya sejak empat dasa warsa lalu membuka jalan bagi generasi muda Papua Barat saat ini untuk mematangkan konsolidasi diplomasi politik internasional Papua Barat.

Walaupun upaya-upaya awal dalam membangun dukungan terhadap OPM dan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat memperoleh manfaat awal dari beberapa negara pendukung, misalnya di Afrika, tetapi tidak bertahan secara strategis oleh karenanya untuk kembali mengurai benang kusut diplomasi politik Papua Barat dibeberapa negara dunia harus dihitung ulang berdasarkan basis pengalaman dari kegagalan terdahulu. Uraian ini akan menjadi analisis sederhana mengenai kerugian dan keuntungan politik dari diplomasi yang telah dibangun.

Dukungan Amerika Serikat

Tidak bisa disangkal bahwa AS adalah merupakan poros utama politik dunia saat ini pasca berakhirnya perang dingin. Kemunculan AS sebagai kekuatan tunggal dalam percaturan politik dunia tentu menggeser pola diplomasi politik internasional Papua Barat, jika sebelumnya bisa memainkan bargaining dengan kekuatan politik lain, misalnya Rusia atau China sebagai kekuatan blok Timur waktu itu, tapi saat ini telah mengalami perubahan drastis, lagi pula secara tradisional kekuatan diplomasi politik internasional Papua Barat tidak cukup cerdik memainkan perannya dibalik pertikaian blok politik besar yang dipimpin dua negra adi kuasa sebelum berakhirnya perang dingin, inilah kegagalan para pemimpin terdahulu.

Dukungan yang diberikan oleh AS bagi perjuangan pembebasan nasional Papua Barat dalam lima [5] tahun terakhir adalah merupakan dukungan politik terbuka yang masih terbatas dikalangan anggota Kongres dan Senator AS.

Black Kaukus, sebuah badan dimana anggota-anggota Kongres AS keturunan Afro-Amerika bersatu membentuk block politiknya, telah memberikan dukungan secara penuh bagi kampanye Papua Merdeka. Black Kaukus jugalah yang telah mempopulerkan dan memperluas dukungan bagi kampanye Papua Merdeka dikalangan Kongres dan Senat AS.

Selain Black Kakukus sebagai modal politik kita, Eny Faleomavaega, seorang anggota Konres AS dari Hawaii, secara nyata mendukung “penentuan nasib sendiri” rakyat Papua Barat dan atas upayanya, telah beberapa kali menyurati presiden RI mengenai masalah Papua Barat. Dukungan nyata Eny Faleomavaega juga diberikan dengan cara menunjungi Indonesia dan langsung datang ke Tanah Papua pada awal tahun 2008 lalu.

Pada bulan Agustus lalu, Eny Faleomavaega dan 40 anggota Kongres AS, melalui sebuah surat yang dikirim, telah mendesak presiden Indonesia untuk melunakkan sikap politik Indonesia dan represi politik yang mereka lakukan terhadap rakyat Papua.

Inilah perkembangan politik Papua Barat di Amerika Serikat, dan orang-orang kulit hitam di Kongres AS-lah yang telah menjadi media untuk menyampaikan “suara serak dan yang terputus-putus” dari Tanah Papua itu, suara para pencari keadilan yang menghendaki kemerdekaan sejati Papua Barat.

Selain dukungan para politisi AS, East Timor Action & Network [ETAN], sebuah lembaga kemanusiaan yang dulu berkampanye bagi kemerdekaan Timor Leste di AS, sekarang telah mulai melakukan lobby-lobby dan kampanye Papua Merdeka dikalangan anggota Senat AS, dewan Mentri dalam pemerintahan AS serta kepada lembaga PBB.

Dengan jaringan lobby yang sudah terbangun puluhan tahun, kita yakin ETAN akan mampu mempengaruhi arah kebijakan luar negeri AS untuk masa-masa yang akan datang, sebagai contoh, perjanjian militer AS dan Indonesia beberapa waktu lalu cukup banyak dikrisi oleh ETAN dan lembaga HAM lain di AS yang dengan jelas memperingatkan pemerintah AS bahwa kebijakan mereka yang sudah melunak mengenai militer Indonesia berdampak buruk bagi perkembangan dan perlindungan HAM di Indonesia, terutama di daerah konflik, pasalnya militer Indonesia adalah pelaku utama kejahatan kemanusiaan selama masa orde baru dan masih berjejak hingga kini, sebagai misal, pemberlakuan Daerah Operasi Militer [DOM] Papua, DOM Acheh dan DOM Timor Leste pada waktu masih diduduki Indonesia, telah banyak menimbulkan korban kemanusiaan.

Kombinasi dua dukungan, yaitu dari Kongresman dan Senator serta lembaga-lembaga kemanusiaan di AS diharapkan akan mampu membuka pintu yang lebar bagi dukungan politik secara langsung oleh pemerintahan AS.

Perkembangan politik mutakhir di AS pantas diikuti secara seksama oleh GPNPB untuk mengambil manfaat dari semua peristiwa politik yang terjadi di AS. Pemilihan presiden AS yang akan berlangsung pada bulan November 2008 nanti tentu akan berpengaruh bagi GPNPB.

Kita berharap Barack Obama dan Partai Demokrat memenangkan Pemilu kali ini, sebab secara tradisional Partai Demokrat adalah partai yang sepenuhnya memberikan dukungan bagi perlindungan HAM diseluruh dunia, termasuk Tanah Papua. Selain itu, Barack Obama, jika terpilih menjadi presiden AS, adalah calon orang kulit hitam pertama yang akan menduduki jabatan itu, Obama tentu akan memahami perjuangan rakyat Papua dari hatinya, dan bukan dari pemikiran politik, sebab kita sama-sama bangsa kulit hitam!

Perlu menjadi catatan kita. Freeport adalah milik AS, setiap kebijakan politik AS terhadap Papua Barat tentu didasari oleh kepentingan ekonominya, dengan demikian, setiap langkah diplomasi kita di AS dipengaruhi oleh keberadaan raksasa tambang ema ketiga terbesar di dunia tersebut. Hati-hati, AS punya kepentingan disini!

Dukungan Uni Eropa

Beberapa Anggota Parlemen Eropa telah memberikan dukungan bagi gerakan politik Papua Barat, ini adalah sebuah kemajuan yang harus mendapat apresiasi oleh kalangan gerakan dan organisasi politik di Tanah Air Papua Barat.

Kita berharap untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan, dukungan Anggota Parlemen Eropa tersebut tidak terbatas merupakan dukungan personal dari beberapa anggotanya tetapi berkembang secara kualitatif menjadi dukungan sebuah lembaga dan berdasarkan dukungan itu memberikan kesempatan bagi rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri, yaitu kemerdekaan politik seperti yang selama ini diharapkan oleh rakyat Papua Barat.

Dukungan Inggris Raya

Melalui West Papua Campaign, aktivis-aktivis kemanusiaan di Inggris telah mendorong kampanye aktif bagi pembebasan nasional Papua Barat. Selain itu kehadiran Sdr. Benny Wenda, pemim
pin Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka [Koteka Tribal Assembly], telah memungkinkan berkembangya kampanye Papua Merdeka di daratan Inggris.

Pada tanggal 15 Oktober 2008 di Inggris, akan diluncurkan sebuah badan yang disebut International Parlementarian for West Papua, semacam badan atau lembaga dimana anggota parlemen dari negara mana saja boleh menggabungkan diri dan memberikan dukungannya bagi perjuangan politik rakyat Papua Barat. Badan ini akan menjadi alat kelengkapan dalam badan legislative Kerajaan Inggris.

Selain itu, dukungan penuh dari beberapa anggota parlemen Inggris, terutama dari Green Party, dalam mendukung kampanye Papua Merdeka, telah membuka jalan bagi GPNPB untuk semakin menguatkan diplomasi politik di Kerajaan Inggris.

Dukungan anggota parlemen Inggris diharapkan menjadi picu bagi GPNPB untuk melakukan lobby yang maksimal dengan pihak pemerintahan Inggris hingga mampu mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Inggris mengenai Papua Barat. Dan semoga demikian adanya!

Perlu diingat, LNG Tangguh di Bintuni adalah sebuah mega proyek yang dikendalikan oleh British Petrolieum [BP], perusahaan milik Inggris, sehingga apapun keputusan politik Inggris menyangkut Papua Barat adalah semata-mata demi kepentingan cari untung di Tanah Papua, dalam konteks ini, GPNPB harus mewaspadainya sejak awal!

Dukungan Vanuatu dan Negara Melanesia Lainnya

Komitmen dan dukungan politik yang sungguh luar biasa dari Vanuatu, harus sepenuhnya dikuatkan oleh kekuatan diplomasi internasional Papua Barat dengan cara mencari dukungan alternative negara-negara Melanesia lain di kawasan Pasifik Selatan.

Secara historis kita memiliki hubungan yang akrab dengan negara-negara Melanesia, karena mereka dan kita [Papua Barat] adalah negara-negara rumpun Melanesia dengan akar peradaban atau kebudyaan yang sama. Analisis lebih lengkap dapat dilihat dibagian lain tulisan ini, yaitu Arti penting negara-negara Melanesia bagi GPNPB.

Dukungan Negara-Negara Afrika

Pelaksanaan Pepera 1969 adalah momentum politik yang dengan pasti menjelaskan sikap negara-negara Afrika mengenai dukungan dan sikap politik mereka mengenai Papua Barat. Kelompok negara-negara Brazavile [Mozambiq, Senegal, Kongo, Guinea Bisau, dan beberapa lainnya] adalah penentang utama proses pelaksanaan Pepera 1969 yang curang dan tidak demokratis masa siding-sidang PBB mengenai Pepera 1969. Memori itu jelas terlihat dalam alur sejarah perjuangan politik Bangsa Melanesia di Papua Barat, oleh karenanya, sebagai manusia-manusia sejarah, kita harus membuka ulang atau mengurai kembali benang kusut diplomasi kita di Afrika, karena sejarah sudah mengatakan kepada kita bahwa mereka [negara-negara Afrika] pernah bertindak atas nama Papua Barat di PBB walau pada akhirnya gagal dan tak membujahkan hasil yang positif.

Konsistensi mereka — negara-negara Brazavile, penentang Pepera 1969 — untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat perlu diuji kembali melalui kerja-kerja diplomasi internasional Papua Barat, dan tugas inilah yang sekarang harus dimaksimalkan oleh kita — kelompok pemuda Papua Barat — sebagai penerus perjuangan pembebasan nasional Papua Barat.

Pada masa perjuangan politik Papua secara modern diakhir tahun 1980-an, dukungan negara-negara Afrika seperti Senegal semakin tegas! Bahkan Senegal membuka kantor diplomasi OPM di negara ini dan memberikan dukungan financial secara penuh bagi pergerakan politik Papua Barat yang waktu itu mulai berjalan di Senegal. Lalu kenapa gagal? Kegagalan ini yang perlu dikoreksi atau dievaluasi kembali dan membuka kembali hubungan diplomasi dengan negara Senegal.

Untuk saat ini, diplomasi politik PB kurang diarahkan ke Afrika, selama 40 tahun perjuangan PB, Afrika dilupakan oleh para diplomat PB, padahal Afrika paling potensial mendukung gerakan pembebasan nasional Papua Barat.

Oleh karena itu, gerakan dan kiblat politik diplomasi internasional PB sudah harus secara mutlak diarahkan ke negara-negara Melanesia dan Afrika, biarkan Eropa dan AS menjadi pendukung penggembira, tapi supporter utama haruslah Melanesia dan Afrika!

Baiklah, kita gagal di Afrika saat ini, tetapi sudah mulai maksimal di Melanesia dan oleh karenanya kedua wilayah potensial ini harus digarap terus oleh jaringan diplomasi internasional GPNPB untuk menjamin  sepenuhnya kemerdekaan Papua Barat, ini menjadi tugas kita saat ini, mendesak dan penting!

Arti Penting Ngara-Negara Melanesia Bagi GPNPB

Jejak historis dan kebudayaan yang satu adalah modal utama GPNB untuk mematangkan dukungan politik dari negara-negara Bangsa Melanesia di Pasifik Selatan. Barangkali kita menganggap selama ini bahwa kartu as bagi kemenangan politik kita ditentukan oleh negara-negara barat [AS dan Uni Eropa], akan tetapi anggapan ini sudah harus dikoreksi dan dirubah secara mendasar.

Secara prinsip, dukungan-dukungan politik yang diberikan oleh negara-negara barat bagi perjuangan pembebasan nasional Papua Barat, tidak lain merupakan kombinasi dari dua kepentingan abadi kaum imperialis, yaitu:

Pertama, kepentingan ekonomi yang mendasari asumsi politiknya. Tanah Papua dipandang sebagai suatu daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah untuk bisa dieksploitasi mereka secara langsung tanpa hambatan birokratis negara yang masih menguasai Tanah Papua saat ini, yaitu Indonesia, maka mereka — negara-negara barat — perlu untuk memerdekakan Tanah Papua.

Kedua, negara-negara barat memiliki asumsi bahwa jika bekerja bersama Indonesia sebagai komprador [kaki tangan mereka] secara ekonomis untuk mengeksplotasi Tanah Papua tidak lagi menguntungkan, praktek korupsi yang merajalela di Indonesia menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi korporasi yang dimiliki negara-negara imperialis yang beroperasi diwilayah otoritas Indonesia termasuk Tanah Papua saat ini. Secara strategis mereka beranggapan berkolaborasi dengan Indonesia untuk lakukan eksploitasi dan penjarahan kekayaan alam di Tanah Papua tidak menguntungkan mereka.

Sebagai contoh, kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste diberikan oleh negara-negara Barat, karena Timor Leste punya kandungan minyak yang cukup untuk dieksploitasi selama beberapa puluh tahun di Timor Gap, suatu daerah lepas pantai yang berbatasan dengan Australia.

Contoh lain, pasca keruntuhan Uni Soviet, negara-negara barat mendukung kemerdekaan beberapa negara bagian dibawah kontrol Rusia diwilayah-wilayah Kaukasia dan Balkan, misalnya Ukraina dan Georgia. Mengapa Ukraina dan Georgia didukung negara barat untuk medeka dari Rusia? Karena kedua negara ini memiliki cadangan gas alam dan minyak bumi yang melimpah. Disinilah letak dukungan negara-negara barat. Asumsi keuntungan ekonomi bagi mereka selalu melatarbelakangi keputusan mendukung atau tidak mendukung suatu Bangsa untuk merdeka.

 

Sehingga untuk mengurangi dampak buruk ketergantungan politik dari GPNPB terhadap negara-negara Barat, orientasi diplomasi politik internasional Papua Barat sejak saat ini sudah harus digerakkan kearah kiblat politik Melanesia sebagai saudara dan bangsa sekandung.

Kita harus menatap halaman belakang rumah kita, berbicara kepada para tetangga kita, mengabarkan pada saudara Melanesia k
ita bahwa Papua Barat membutuhkan dukungan politik mereka secara penuh. Ada PNG, Fiji, Vanuatu, Solomon Island, Kiribati dan Tuvalu. Mereka adalah Bangsa kita, Bangsa Melanesia. Oleh karenanya potensi diplomasi politik untuk mendukung GPNPB haruslah diperjuangkan oleh seluruh slogarde GPNPB di wilayah Melanesia.

Sebagai manusia dengan latar belakang sejarah peradaban dan kebudayaan yang sama, Bangsa Melanesia sudah harus bersatu untuk membentengi miliknya bagi kepentingan Bangsa Melanesia sendiri dan Tanah Papua adalah aset berharga yang harus diperjuangkan oleh Bangsa Melanesia lain di Pasifik Selatan untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan bersama-sama membangun masa depan peradaban Bangsa Melanesia di dunia untuk berdiri secara sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Mengapa kiblat diplomasi politik internasional GPNPB harus diarahkan ke negara-negara Melanesia dan bukan negara-negara Barat? Karena secara prinsip dukungan politik yang nantinya diberikan oleh negara-negara Melanesia di Pasifik kepada perjuangan politik GPNPB tidak didasari oleh kepentingan lain, seperti dalam budaya politik Barat. Kepentingan Melanesia — dan ini jelas vested interest — hanya satu: bagaimana menyelamatkan saudara sebangsanya di Papua Barat dari ancaman kepunahan akibat kolonisasi RI dan penghisapan imperialisme – kapitalisme internasional.

Secara tradisional Vanuatu menjadi kekuatan pendukung utama dari GPNPB, Vanuatu menjadi negara Melanesia yang paling utama dalam kampanye Papua Merdeka sebagai akibat dukungan luar biasa dari rakyat bangsa Melanesia yang ada di Vanuatu, walaupun terjadi perubahan pemerintahan di Vanuatu agenda politik dan dukungan Vanuatu terhadap perjuangan GPNPB tidak akan bergeser sedikitpun!

Vanuatu dengan sendirinya telah menjadi modal politik utama Bangsa Melanesia di Tanah Papua untuk melakukan kerja-kerja diplomatik jangka panjang dengan negara-negara Melanesia lainnya seperti PNG, Fiji, Solomon Island, Kiribati dan Tuvalu.

Lalu apa tugas mendesak GPNPB sekarang untuk membangun basis diplomasi politik internasional yang tangguh di wilayah Pasifik Selatan? Marilah kita memandang ke arah Timur, disana ada PNG sebagai kekuatan utama politik di kawasan Pasifik Selatan, kita coba menutup mata terhadap Australia dan Selandia Baru untuk sementara waktu, sebagai influence, kedua negara memang berpengaruh, tetapi mereka jelas merupakan perwakilan negara-negara Barat di Kawasan Pasifik, dengan begitu, apapun sikap politik Australia maupun Selandia Baru terhadap GPNPB dan dukungan mereka terhadap politik Papua Merdeka adalah jelas merupakan sikap politik negara-negara Barat an sich.

Sebagai kekuatan politik utama dari negara-negara Melanesia, PNG harus mendapat porsi politik lebih besar dalam kerja diplomasi internasional GPNPB sekarang ini guna memperoleh dukungan yang utuh dari negara serumpun tersebut untuk kepentingan politik Papua Merdeka.

Merekalah tetangga paling dekat dan paling intim yang dimiliki oleh Papua Barat, puluhan ribu pengungsi Papua Barat bahkan masih bertahan hidup di wilayah negara ini, walaupun PNG dengan kekuatan politiknya bisa saja mendeportasi para pengungsi Papua Barat, akan tetapi hal itu dilakukan. Jelas ini merupakan efek psikologis Melanesia dari para pemimpin politik PNG.

Kita adalah saudara, adalah tidak mungkin seorang saudara mencelakakan nasib saudara lainnya dan hal tersebut merupakan kebiasaan dalam adat Melanesia. Saudara menolong saudara dan bahkan seorang tamu, jika ia sudah berada dalam rumah orang Melanesia maka menjadi tanggung jawab sang tuan rumah akan keselamatan hidup sang tamu, inilah gambaran sederhana akan sikap politik PNG terhadap para pengungsi Papua Barat yang telah berada diwilayahnya sejak tahun 1969, sesaat setelah Pepera 1969 dilakukan dan semakin banyak pasca operasi militer tentara Indonesia pada tahun 1977 serta pasca pembunuhan budayawan Papua Barat Arnold Ap pada tahun 1983.

Tugas mendesak GPNPB saat ini adalah bagaimana mendorong efek psikologis Melanesia dari para pemimpin politik PNG tadi agar menjadi kekuatan politik yang sempurna bagi dukungan mereka atas perjuangan pembebasan nasional Papua Barat.

 

Banyak dari kita pasti bertanya: mengapa PNG tidak dukung agenda politik Papua Barat yang disodorkan oleh Vanuatu waktu pelaksanaan Melanesian Sparehead Group [MSG] di Vanuatu bulan Maret 2008 lalu? Mengapa pula PNG menolak proposal politik Vanuatu yang sama mengenai Papua Barat sewaktu Pasifik Island Forum [PIF] dilakukan? Bukankah PNG wajib mendukung proposal Vanuatu mengenai PB?

Ya, memang harus. Akan tetapi PNG merasa belum tepat waktunya, mengapa? Jawabannya ada di kita, ada di Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat [GPNPB]. Tidak adanya persatuan politik yang solid dalam GPNPB menjadi factor kunci ketiadaan dukungan politik PNG bagi agenda-agenda politik Papua Barat yang disodorkan  Vanuatu dalam meja perundingan MSG maupun PIF.

Sebagai suatu negara Melanesia merdeka yang berbatasan langsung dengan Papua Barat, PNG harus hati-hati dan menghitung segenap kebijakan politiknya untuk masa depan Melanesia secara umum, kesalahan politik, kalau saja diambil oleh PNG mengenai Papua Barat, jelas akan membahayakan kestabilan politik kawasan Melanesia par excelence. Inilah dia masalahnya!

Lalu apa yang dinantikan PNG dari Papua Barat? Jawabannya adalah “persatuan politik” diantara organisasi GPNPB di Tanah Papua dan juga “persatuan saluran diplomatic internasional Papua Barat di medan perjuangan politik internasional.” Persatuan politik yang dinantikan PNG dari GPNPB sampai detik ini jelas belum terbentuk secara matang walaupun ada upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh para pemimpin politik Papua Barat di luar negeri dan organisasi-organisasi gerakan massa Papua Barat di Tanah Air sendiri.

Para pemimpin politik PNG jelas menghitung semua pergerakkan politik Papua Barat sebelum memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Papua Barat. Jika terlampau premature dukungan politik yang diberikan oleh pemerintah PNG, konflik horizontal diantara suku-suku Papua Barat dan federasi politik yang terbangun didalamnya, pasca kemerdekaan Papua Barat, bakal terjadi jika tidak ada “persatuan politik” sejak awal dalam diri kita sendiri, yaitu didalam organisasi-organisasi Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat [GPNPB].

Pengkondisian konflik horizontal jelas merupakan agenda politik neo-kolonial NKRI dan para antek politiknya di Tanah Papua, tetapi pengkondisian tersebut juga “secara tidak sadar” sedang dilakukan oleh sebagian organisasi dan aktivis-aktivis politik Papua Merdeka dengan membiarkan, bersikap malas tahu dan bahkan menghalangi pembentukan blok politik nasional Papua Barat yang solid melalui “persatuan politik” GPNPB yang sedang didorong oleh organsasi dan aktivis-aktivis Papua Merdeka yang berpikiran maju.

Kekhawatiran para pemimpin politik PNG sangat jelas, jika konflik horizontal terjadi di Papua Barat, konflik ini pasti merembes ke PNG dan secara pasti akan membawa dampak buruk bagi kestabilan politik di kawasan Melanesia.

Itulah hitungan politik jangka panjang yang dipertontonkan para pemimpin politik PNG dengan bersikap malas tahu dan untuk sementara waktu tidak mendukung GPNPB dan politik Papua Merdeka secara utuh dalam agenda-agenda politik Kawasan seperti MSG dan PIF, walaupun PNG sendiri memberikan ruang bagi organisasi-organisasi GPNPB bergerilya politik di PNG.

Terlepas dari semua soal di
atas, kewajiban GPNPB hari ini adalah mendorong secara mutlak blok politik nasional Papua Barat yang solid melalui “persatuan politik” GPNPB. Tidak perlu menunggu waktu lama, tidak perlu juga mendengar asumsi rendahan dari para pihak yang terlibat dalam GPNPB tetapi tidak mempunyai niat membangun persatuan politik, sebab mereka adalah instrument dari anasir-anasir gerakan yang hendak menghancurkan kekuatan politik GPNPB dan tujuan mulia kemerdekaan Bangsa Melanesia di Papua Barat.

Menutup analisis singkat ini, saya hendak mengungkapkan sebuah cerita yang mungkin berguna dan menjadi pesan moral yang jelas buat kita semua.

Pada suatu ketika seorang aktivis Papua Merdeka melakukan perjalanan politiknya keliling benua Eropa. Dalam perjalanan politik itu ia singgah di Irlandia. Ditemuilah beberapa aktivis IRA [Ireland Repuplican Army], sebuah organisasi sayap militer gerakan Irlandia Merdeka. Tentu maksudnya adalah untuk membagi pengalaman perjuangan Bangsa Melanesia di Papua Barat kepada kawan-kawan Irlandia-nya itu dengan harapan mereka juga membagi pengalaman yang sama. Selang beberapa waktu ia diantar oleh seorang kawan Irlandia-nya menemui tokoh gerakan IRA berpangkat jendral di kota tersebut.

Dalam diskusi dengan Sang Jendral, kurang lebih satu jam pertemuan, sang jendral  banyak mebicarakan politik praktis dengan aktivis Papua Merdeka yang menemuinya, diakhir cerita Sang Jendral mendekatkan dirinya dengan tokoh kita tadi dan sambil duduk disamping aktivis Papua Merdeka ini Sang Jendral menarik lengan bajunya dan mendekatkan dengan tangan aktivis Papua Merdeka tadi lalu terjadilah dialog berikut;

Sang Jendral: “Anak muda, coba lihat warna kulit kita…” Aktivis Papua Merdeka tersebut diam dan mengamati warna kulit, semula ia mengira hanyalah sebuah pertanyaan biasa, dan dalam kebisuan sesaat itu. Sang Jendral kembali berkata: “Anak muda, inilah yang saya maksud, kulit saya berwarna putih dan kulit Anda hitam…Peradaban dunia ini dibangun oleh prasangka rasialis yang kental dan itu membekas dalam semua memori politik dan tindakan para politisi dunia hari ini…” Tentu ini pernyataan bombastis dari orang tua Irlandia tadi, betapa tidak, ini tentu mengherankan, sang jendral Irlandia tadi jelas berkulit putih dan aktivis Papua Merdeka ini memiliki kulit hitam.

Sang aktivis masih terdiam memikirkan dan merenungi pernyataan tadi, berkata pula Sang Jendral “Anak muda, sebagai orang Irlandia, saya dan semua tokoh gerakan kemerdekaan Irlandia tidak pernah datang ke Afrika atau berniat mengunjungi negara-negara Melanesia untuk meminta dukungan mereka bagi kemerdekaan Irlandia…Sebagai orang Irlandia, saya datang ke Amerika untuk mencari dukungan politik disana, karena ada banyak keturunan orang Irlandia yang bekerja sebagai anggota Senat, anggota DPR, mentri, tentara, polisi, dll, merekalah yang menjadi modal saya untuk berdiplomasi dan mencari dukungan politik bagi kemerdekaan Irlandia…”

Sang aktivis masih tetap membisu dan merenungi semua ucapan Sang Jendral, sejurus kemudian berkata pula Jendral tadi “ Anak muda, saya tidak membicarakan prasangka rasialis a la Hitler, tetapi ini kenyataan politik, saya tentu bersimpati dengan gerakan Papua Merdeka dan mendukungnya karena Bangsa Irlandia juga sedang mengalami nasib yang sama, tetapi inilah perilaku politik dunia, ini sebuah rahasia yang secara jujur saya ungkapkan kepada Anda, oleh karena itu saya menyarakan Anda untuk tidak lagi datang kesini tetapi pergilah ke negara-negara Melanesia, pergilah ke Afrika, merekalah negara-negara bangsa yang secara politis pasti akan mendukung Papua Merdeka tanpa syarat…”

Tentu ini suatu pernyataan yang mulia dari orang tua Irlandia tadi dan tidak pernah ungkapan sejujur ini keluar dari mulut orang kulit putih lain, demikianlah yang dipikirkan sang aktivis. Mungkinkah nasib Bangsa Melanesia di Tanah Papua saat ini masih tetap terjajah karena proses diplomasi yang keliru? Begitulah kira-kira renungan akhir dari proses dialog yang kembali direnungkan anak muda Papua ini.

Lalu disaat akhir ketika hendak berpamitan dengan Sang Jendral, aktivis Papua Merdeka ini diingatkan lagi oleh sang Jendral “Ingat anak muda, jika Anda sudah cukup membangun diplomasi di Melanesia dan Afrika barulah Anda datang kembali ke Irlandia dan menceritakannya kepada saya hasil pekerjaan Anda, jika Anda melakukannya dengan baik, sudah jelas, dukungan bagi Papua Merdeka akan pasti Anda raih!”

————————
Cerita lain. Suatu ketika, aktivis Papua merdeka dalam ceritera dengan Sang Jendral Irlandia diatas melakukan perjalan ke Swiss untuk mengikuti pertemuan mengenai hak-hak kaum minoritas. Dalam pertemuan seremonial yang dilakukan salah satu badan PBB tersebut, banyak sekali berkumpul tokoh-tokoh politik dan diplomat kaum minoritas dari seluruh dunia. Setelah mengikuti beberapa sesi dalam pertemuan tersebut berakhirlah pertemuan ini.

Diakhir acara, datanglah seorang Associate Professor dari Oxford University yang menjadi staff ahli pada badan PBB tadi, lalu berbincang-bincang dengan aktivis Papua ini, kata sang professor “Wah, bahasa Inggris Anda beraksen Inggris murni, apakah Anda seorang aktivis dari Inggris?” Lalu sang aktivis menjawab “Oh…Bukan, saya bukan berasal dari Inggris, saya berasal dari Papua Barat.” Professor tadi lalu bertanya “Untuk apa Anda datang kesini?”

Tentu saja sang aktivis sedikit bingung dengan pertanyaan ini, bukankah ia sedang berupaya untuk melakukan lobby dilembaga ini dengan menggambarkan kondisi politik di Tanah Papua dengan harapan mendapat dukungan dan menjadi masukan bagi badan PBB ini untuk dilanjutkan kemudian di badan PBB lain yang lebih tinggi? Demikianlah pemikiran yang muncul dalam benak sang aktivis.

Professor tadi memahami kegalauan hati aktivis Papua Merdeka ini, lalu ia meneruskan diskusinya. “Tuan, jika Anda hendak berjuang bagi penegakan HAM disini memang tempat yang pas, tetapi jika Anda hendak berjuang bagi Papua Merdeka, jelas disini bukan tempat yang pas, Anda akan disibukkan dengan proses birokratis yang berliku dalam badan-badan PBB yang rendah seperti pertemuan hari ini, berkas Anda tentu akan masuk ke meja Sekjen PBB, setelah melalui beberapa tahapan atau tingkatan pertemuan badan-badan PBB diatas lembaga ini, tetapi akan disortir sesuai kepentingan politik global dan jika sesuai dengan politik global maka berkas Anda akan diprioritaskan.”

Sang aktivis lalu bertanya “Mengapa bisa begitu? Bukankah sejak dulu para aktivis mendatangi lembaga seperti ini untuk menemui jalan keluar permasalahan politik, HAM dan Demokrasi serta masalah Ling
kungan Hidup yang dihadapi bangsa mereka masing-masing?”

Sang professor dengan cepat menyanggah “Memang benar demikian, tetapi Tuan harus ingat bahwa disini lembaga HAM dan bukan lembaga politik, jika Tuan hendak memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, Tuan harus melobby suatu negara merdeka yang memiliki hak berbicara di Sidang Umum maupun Sidang Dewan Keamanan PBB, karena di dua agenda sidang PBB inilah Anda akan mendapatkan saluran politik yang semestinya. Bukan disini Tuan, bukan di badan HAM PBB atau di badan Lingkungan Hidup PBB atau di badan Sosial PBB, kesemuanya hanya menjadi alat lips service dari para pembuat keonaran, yaitu negara-negara maju yang telah merusak lingkungan alam Anda, melanggar HAM Anda dan akhirnya merusakkan tatanan social Anda dengan nilai-nilai demokrasi yang mereka tawarkan!”

Wahai! Ini suatu pernyataan yang menarik, demikian terbersit keheranan dan kekaguman sang aktivis pada si professor yang telah berani jujur mengakui mentalitas biadab yang melingkupi lembaga dunia sekaliber lembaga HAM PBB di Jenewa [Swiss] ini dan berbagai lembaga dunia lain yang dibangun untuk kepentingan birokratis global kaum penjajah dengan tujuan sangat jelas, yaitu untuk melanggengkan sifat-sifat agresif mereka dalam mengontrol dan menjarah negara-bangsa pinggiran seperti Afrika, Amerika Latin, Asia dan Pasifik dengan memakai berbagai regulasi [aturan/hukum] internasional yang dibuat lembaga-lembaga internasional seperti ini.

Cerita masih berlanjut, dua tokoh kita ini lalu datang ke sebuah kafe, duduk memesan minuman dan mereka melanjutkan diskusi, tentu banyak hal ditanyakan sang professor pada aktivis Papua Merdeka ini dan dijawab seperlunya.

Meniru adegan sebelumnya seperti yang dilakukan Jendral Irlandia dalam ceritera terdahulu, si professor membuka lengan baju dan menunjukkan kulit tangannya kepada aktivis Papua Merdeka, teman dialognya, dan berkata “Tuan, coba Anda lihat kulit Anda dan saya, bukankah berbeda?”

“Ya, tentu saja,” jawab aktivis Papua ini, lalu si professor menambahkan “Inilah rahasianya Tuan, jika Anda hendak berjuang bagi Papua Merdeka, Anda harus datang kepada lingkungan politik negara-negara dimana Papua Barat berada, Anda berasal dari rumpum bangsa Melanesia, maka Anda harus datang kepada negara-negara Melanesia yang telah merdeka untuk mendukung perjuangan politik Papua Merdeka, itulah rahasianya, Anda tidak harus ke Eropa atau Amerika, mereka bangsa kulit putih, dan tidak secara serta merta akan mendukung perjuangan Anda, berbeda jika Anda datang ke lingkungan politik yang terdekat dengan Anda seperti negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan.”

Wah, ini suatu pernyataan politik yang luar biasa dari seorang kulit putih lain yang berempati dengan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat, demikianlah kira-kira pikiran yang berkeamuk dalam kepala si aktivis Papua Merdeka.

Diakhir pertemuan yang akrab itu si professor kemudian berpesan kepada tokoh kita dari Papua ini “Tuan, jika Tuan sepakat dengan apa yang saya sampaikan, saya tidak mau melihat Tuan datang kesini lagi, semuanya yang Anda lakukan disini akan sia-sia, sebab disini bukan tempatnya, datanglah ke negara-negara Melanesia, lalu majulah bersama mereka kehadapan Sidang Umum PBB atau Sidang DK PBB, disanalah Anda harus berjalan untuk menempuh perjuangan politik Anda. Secara moral, sebagai orang Inggris, saya mendukung perjuangan Anda, tetapi secara politik, belum tentu saya mendukung upaya Anda, ingat politik rasial tetap hidup dalam percaturan politik global…”

Demikianlah kira-kira deskripsi singkat yang coba digambarkan dalam dua ceritera dari tokoh politik kita yang memiliki pengalaman politik tadi dalam perjalanannya di Eropa.

—————————–
Pesan moral dari kedua ceritera diatas adalah:

Jika kita mau berjuang secara tuntas dan jelas bagi kemerdekaan Papua Barat, maka jalan paling rasional untuk mencari dukungan politik bagi kemerdekaan kita adalah dengan cara membangun dan menguatkan diplomasi politik internasional Papua Barat di kawasan Pasifik Selatan, dimana negara-negara Melanesia berada.

Jika rumah kita rusak atau rubuh terkena badai, bukankah tetangga terdekat yang kita mintai pertolongannya sebelum memanggil orang yang paling jauh dari rumah kita? Jika kita hendak bikin kebun, bukankah orang sekampung yang kita undang dan bukan mereka yang ada di kampung lain? Jelaslah sudah pesan Jendral dari Irlandia dan Professor dari Oxford Inggris tadi. Kiranya pesan moral ini menjadi renungan bagi kita, aktivis Papua Merdeka, yang hendak berjuang bagi pembebasan nasional Papua Barat.

Dengan demikian negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik Selatan seperti Vanuatu, PNG, Fiji, Solomon Island, Kiribati dan Tuvalu menjadi modal utama diplomasi politik internasional kita. Setelah berhasil di Melanesia baru langkah selanjutnya adalah Afrika, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Mari bergerak ke Timur dan Selatan kawan!

—————————–

Dunia Diambang Krisis Ekonomi Global

Berawal dari Subprime Mortgage, krisis penjualan rumah, yang mengguncang bursa saham AS, akhirnya krisis merambah jantung ekonomi AS yaitu krisis keuangan [financial]. Diawali kejatuhan AIG Life, sebuah lembaga asuransi terkemuka dunia, krisis financial AS kemudian menghantam korporasi financial Amerika Serikat, suatu system penopang ekonomi makro, akhirnya bermasalah!

Lehman Brothers, sebuah bank investasi terbesar keempat di AS, pada tanggal 16 September 2008 jatuh bebas dalam kebangkrutan. Goldman Sach dan Morgan Stanley, dua lembaga keuangan komersial yang dimiliki para pemilik corporate banking AS, akibatnya kondisi ekonomi makro AS runtuh diterjang badai krisis ekonomi, kondisi ini diikuti oleh bank-bank komersial lainnya di AS, seperti Merill Lynch, dll.

Beikut adalah tiga alasan awal menjadi basis analisis bagi kita untuk mengamati lebih jauh krisis financial AS yang telah memicu krisis ekonomi global.

Pertama, politik perang melawan terror [war on terror] yang dikembangkan regime G.W Bush pada saat akhir masa jabatan pertamanya sebagai presiden AS, pada awalnya hanya merupakan agenda serangan balasan atas serangan terror berdarah yang dilakukan jaringan Al Qaeda terhadap gedung kembar World Trade Center [WTC] di New York pada tanggal 11 September 2001 [9/11.

Akan tetapi, dengan alasan keamanan nasional AS, ketika para penasihat keamanan nasional Bush, yang diduduki oleh jaringan koneksi corporasi perminyakan AS melihat peluang untuk mengambil untung dari politik War on Terror, maka mereka menyarankan kepada presiden Bush untuk memburu Osama Bin Laden sampai ke ujung dunia, bila perlu menghancurkan negara-negara yang sec
ara terbuka mendukunng gerakan Bin Laden ataupun yang samar-samar memberikan dukungan politiknya.

Sehingga dalam mengatur rencana perangnya, pemerintahan Bush harus mengeluarkan anggaran sebesar 600 trilyun dollar, angka ini sama dengan 600.000 trilyun rupiah, bayangkan saja! Betapa mahalnya biaya perang dan harga yang harus dibayar untuk hal tersebut.

Kedua, dampak dari bencana alam yang beberapa waktu lalu terus menerus melanda AS. Sektor ekonomi AS juga pada akhirnya dipengaruhi oleh karena fenomena alam tersebut.

Ketiga, toxic debt [utang-utang beracun] yang muncul dalam system perkreditan perbankan komersial AS, yang dalam banyak hal menjadi penyumbang utama krisis financial AS yang melanda bank-bank komersial AS.

Sebagai pusat utama pasar global, keruntuhan perbankan komersial di AS mempengaruhi bursa ekonomi global.

Minggu lalu, index saham pada bursa Strite Times Singapura terkoreksi menurun, bursa saham China, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan bursa-bursa regional lainnya juga mengalami hal yang sama, bursa saham Indonesia anjlok mendekati angka 4 persen sehingga memaksa otoritas moneter Indonesia menutup sementara Bursa Efek Jakarta [BEI], BEI tersuspensi, demikianlah pasar saham Indonesia dan regional ikut anjlok akibat keruntuhan pasar finasial AS.

Dana talangan yang diluluskan Kongres AS melalui voting “baylout” yang a lot mengakhiri suatu kepanikan politik yang melanda sebagian besar kalangan Kongres dan Senat AS serta pemerintahan Bush akibat krisis financial pada makro ekonomi AS.

Meski UU Baylout senilai 700 milyar dollar telah disepakati oleh Kongres dan Senat AS, tetapi tidak cukup menolong pasar bursa dan financial AS. Seperti buah simalakama, pemerintah AS harus menanggung akibat keruntuhan pasar finansialnya sendiri yang dibiarkan berjalan tanpa control negara, inilah buah politik Republikan yang terbiasa mengatakan “biarlah pasar mengontrol dirinya sendiri..!”

Pasar adalah spekulasi, dalam sebuah spekulasi, orang mencari untung dan bukan kerugian, kini spekulasi yang melibatkan bank-bank komersial AS telah menyebabkan bank-bank tersebut merugi dan menyebabkan AS jatuh dalam badai krisis monter yang berimbas luas ke dunia.

Banyak data harus dikumpulkan untuk menganalisa secara tuntas fenomena krisis ekonomi global ini, satu hal penting yang harus menjadi catatan bagi GPNPB bahwa setiap riak politik yang terjadi di dunia, selalu dipicu oleh kebuntuan ekonomi, dan krisis ekonomi global adalah picu untuk mendorong pergerakan politik Papua Barat kea rah bargaining politik yang lebih kuat untuk menentukan masa depan Papua Barat sebagai sebuah negara merdeka yang berdaulat sendiri.

Ingatlah pada Republik Demokratik Timor Leste! Bukankah mereka mendapat kemenangan mutlak setelah Indonesia di hantam krisis ekonomi?

Situasi Politik Indonesia

Pasca runtuhnya Regime Orde Baru Soeharto, reformasi dijalankan oleh berbagai regime yang berkuasa, namun akhirnya diketahui bahwa reformasi tersebut berjalan lambat, bahkan dibelokkan dari tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh rakyatnya sendiri.

Sebagai contoh, banyak produk hukum nasional NKRI yang dibuat beberapa tahun belakangan oleh lembaga lesilatif NKRI dihasilkan dalam kerangka memenuhi selera politik pasar yang mencengkeram dunia. Misalnya UU Penanaman Modal Asing [PMA], UU Migas [Minyak dan Gas], UU Ketenagakerjaan, UU Otonomi Daerah, UU Pertambangan, dan beberapa aturan nasional NKRI yang dibuat adalah untuk memenuhi selera pasar [kapitalisme global].

Dalam ranah politik, terbukanya sendi-sendi demokrasi, memungkin organisasi massa berkembang dengan pesat dan menjadi alat control bagi setiap regime yang berkuasa, akibatnya, untuk meredam gerakan-gerakan politik yang kuat, dibuatlah beberapa UU untuk mencegah kemungkinan  manifestasi politik rakyat di negara NKRI berubah menjadi kekuatan politik yang solid dan menjadi batu sandungan bagi tetap berjalannya kekuasaan politik setiap pemerintahan yang berkuasa.

Gejolak politik terus terjadi, ada banyak angkatan kerja produktinya yang tidak bisa memperoleh kerja, sebagai akibatnya, muncul pengangguran terbuka. Dilain pihak, pengiriman tenaga kerja keluar Indonesia, misalnya TKI dan TKW, dalam banyak hal tidak mendapat pelayanan yang baik melalui regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, sebagai akibatnya, banyak sekali TKW disiksa, diperkosa dan bahkan dibunuh oleh majikan mereka ditempat kerja mereka.

Inilah fenomena ekonomi, politik dan social yang sedang terjadi di Indonesia dan sebagai salah satu wilayah yang menjadi sasaran penjarahan kekayaan alam dan yang sedang dijajah oleh NKRI, rakyat Papua Barat, terutama aktivis Papua Merdeka harus mencermati, menganalisis dan mengkorelasikan program-progam politiknya sesuai dengan kondisi politik yang terjadi di Indonesia.

Kecenderungan Fasistik Regime SBY-JK

Kita tentu sering melihat di TV, membaca Koran atau mendengar siaran radio, dimana dikabarkan bahwa terjadi keributan antara pedagang kaki lima [PKL] dan polisi pamong praja [Satpol PP]. Fenomena ini menjadi sebuah fenomena nasional di Indonesia.

Hari ini, misalnya, Anda melihat terjadi keributan antara PKL dan Satpol PP di Kota A, besok Anda akan temui pola dan peristiwa yang sama di Kota B dan seterusnya. Di Jakarta bentrok, di Makassar [Sulawesi] bentrok, di Padang [Sumatra] bentrok, di Medan [Sumtra] bentrok, di Menado [Sulut] bentrok, di Ambon [Maluku] bentrok, dan hal tersebut terjadi berulang kali.

Adagium pun berkembang “rakyat miskin tak lagi diinginkan keberadaannya oleh NKRI, rakyat miskin yang berdagang telah dibunuh mata pencahariannya, apa guna berkalang debu di negara yang tidak menghargai rakyat?” Lingkaran kekerasan akibat represi apparatus NKRI sedang berlangsung dan yang menjadi sasaran adalah kaum miskin yang menjadi rakyatnya sendiri!

UU Ketertiban Umum [Tibum] yang telah diberlakukan, akhirnya menjadikan NKRI bagai neraka bagi orang-orang miskin. Selain penggusuran terhadap para pedagang kaki lima, di Jakarta penggusuran juga menyasar rakyat miskin lainnya, perumahan-perumahan kumuh dibongkar, pasar-pasar tradisional sengaja dibakar, maka bertebaranlah kaum miskin di Indonesia, ini sebuah manifestasi dari kegagalan setiap regime yang berkuasa sejak jaman reformasi.

Inilah akibat nyata fasisme negara yang mulai dikemas ulang oleh para pelaku politik Indonesia untuk dengan alasan keamanan, ekonomi, politik, dll, akhirnya terapkan kembali dalam merepresi rakyatnya sendiri.

UU TNI telah selesai dibuat, tetapi apakah reformasi cultural, structural dan politik yang diharapkan oleh bagian terbesar rakyat Indonesia dapat dipenuhi? Entalah, tetapi yang pasti janji kosong para petinggi TNI untuk tidak berpolitik praktis nampaknya harus direka ulang.

Anda tentu tau pilkada DKI yang melibatkan jendral aktif, dan akhirnya sang jendral telah terpilih mendampingi Fauzi Bowo menjalankan roda pemerintahan Jakarta, walaupun pada saat terpilih sang jendral kemudian diberhentikan dari dinas militer aktif, tapi ini fenomena politik yang pantas dikritisi.

Anda j

Posted via web from papuapost’s posterous

Exit mobile version