MRP Prihatin Nasib Perdasus Perdasi

JAYAPURA (PAPOS) –Belum ditetapkannya Perdasus dan Perdasi membuat Ketua MRP (Majelis Rakyat Papua) Agus A Alua prihatin. Hal itu seperti diutarakannya kepada wartawan disela syukuran HUT ke-3 MRP, Jumat (31/10) kemarin.

Keprihatinan itu menurut Agus akibat kinerja Pemerintah Provinsi dan DPRP lemah, sehingga Perdasus dan Perdasi selama ini belum ditetapkan peraturan daerah khusus mengatur hak-hak dasar orang asli Papua. Syukuran HUT ke-3 MRP dihadiri Kasubdit Otsus Dirjen Otda Depdagri Safrizal, Sekda Provinsi Papua Drs Tedjo Soeprapto, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI AY Nasution, Kapolda Papua Irjen Pol.FX Eko Danto, Danlantamal X Laksamana Pertama TNI Stephanus Budiyono, Muspida Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.

HUT MRP itu juga dihadiri tokoh agama, adat, perempuan, perwakilan LSM dan negara sahabat, bernuansa regilius diiringi ibadah Syukur dipimpin Pdt.M.Kafiar dan atraksi tarian adat khas Papua.

MRP adalah lembaga kultur yang lahir sesuai amanah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua, untuk mengatur dan melindungi hak-hak dasar orang asli Papua seperti hak atas tanah, air, pertambangan, sosial budaya dan aspek lainnya.

Sejak berlakunya selama tujuh tahu ini, belum satu pun Perdasus dan Perdasi ditetapkan oleh pemerintah (gubernur) dan DPRP Papua, padahal draft Perdasus dan Perdasi itu telah diserahkan dua tahun lalu.

Perdasus dan Perdasi itu, menjadi kekuatan hukum dalam mengatur sejumlah hak-hak dasar orang asli Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mengawasi pemerintah dalam pengelolaan dana Otsus bagi Provinsi Papua tiap tahun bernilai triliunan rupiah.

Pada kenyataannya, rakyat Papua selalu mempertanyakan hasil nyata. MRP dengan kewenangan dan minimnya, namun selama tiga tahun ini terus mendorong pemerintah untuk mensahkan Raperdasus dan Raperdasi menjadi Perdasus dan Perdasi.

MRP selama tiga tahun ini bekerja ibarat berada di hutan belantara, tidak jelas arahnya apakah ke timur, barat, utara atau selatan. “Ibarat ini karena belum satu pun Perdasus dan Perdasi yang ditetapkan pemerintah, padahal draft Perdasus dan Perdasi telah diserahkan MRP kepada pemerintah. Saya tidak tahu, apakah bisa gubernur dan DPRP membangun rakyatnya tanpa Perdasus dan Perdasi itu,” kata Alua nada kecewa.

Alua mengaku, walaupun kewenangan MRP sangat terbatas dan tidak ada payung hukum pelaksanaan Perdasus dan Perdasi namun MRP telah menangani masalah hak ulayat masyarakat di areal penambangan Nikel di Kepulauan Raja Ampat, status tanah masyarakat Biryosi, Kabupaten Manokwari yang diklaim TNI-AL.

Selain itu, tanah hak ulayat dan adat di Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura yang diambil pemerintah dalam program penempatan warga transmigrasi tanpa ganti rugi, serta hak ulayat masyarakat di Grasberg di Tembagapura yang ditambang PT.Freeport Indonesia atas tembaga, emas, perak dan material ikutan lainnya, sementara warga masyarakatnya hanya menjadi penonton.

“Masalah-masalah itu diselesaikan bila ada Perdasus dan Perdasi yang menjadi dasar hukum bagi penduduk asli Papua, namun karena belum ada payung hukum, maka pemerintah melakukan apa saja semaunya sendiri, sementara aspirasi masyarakat adat disepelekan begitu saja,” kata Alua.

Mantan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologia (STFT) “Fajar Timur” Abepura, Jayapura ini meminta pemerintah (gubernur) dan DPRP agar dalam waktu yang sisa ini serius membahas dan menetapkan Perdasus dan Perdasi yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 yang didalamnya mengatur kewenangan MRP.

“Masyarakat kalau mau tanya langsung saja ke Gubernur dan DPRP Papua karena mereka yang mengatur dan mengendalikan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, sebab MRP tidak mempunyai kewenangan apa-apa,” ujar Alua.(nas/ant)

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Sabtu, 01 November 2008

http://papuapos.com
Drs.Agus A. Alua, M.Th

Exit mobile version