PEREMPUAN PAPUA JADI PEDAGANG KECIL UNTUK HIDUPI KELUARGA

Oleh Maria D. Andriana

Jayapura, 27/1 (ANTARA) – Setiap hari Yuliana (53) berjualan ubi dan singkong di pasar Gelael di jantung kota Jayapura, tak peduli hari hujan atau cerah, karena anak-anak dan suaminya mengharapkan penghasilannya.

Jika hari baik, Yuliana mengaku bisa menyisihkan barang 15-30 ribu rupiah dari keuntungan berjualan singkong, tetapi adakalahnya ia justru “nombok” uang transport dari rumah menuju tempat berdagang yang menghabiskan sekitar Rp30.000,- pergi pulang.

“Bagaimana jika `mama sakit dan tidak bisa berdagang.”

“Diam di rumah saja,” katanya dengan wajah bingung karena ia pun tidak tahu harus menjawab apa. Yuliana sepertinya dituntut tidak boleh libur dan sakit demi menghidupi anak-anaknya.
Sejak David suaminya menganggur, Yuliana bertanggungjawab mencari nafkah secara tunggal untuk menghidupi enam anaknya. Bebannya tidak menjadi berkurang ketika empat dari anaknya menikah

satu-persatu, karena mereka juga hidup miskin dan beranak-pinak memberinya 18 cucu.
“Ah sudah begini saja, pokok ada untuk makan besok sudah cukup,” katanya sambil duduk di atas selembar plastik yang menjadi alas dagangan. Di hadapannya teronggok sejumlah ubi merah dan ketala

singkong dan ditawarkannya dengan harga Rp10.000 per onggok berisi antara 5-6 ubi.
Barang dagangan itu diangkutnya dengan kardus dan digendong dari rumah ke pasar dengan naik taksi (maksudnya angkutan umum) sebanyak empat kali pulang-pergi.

“Ini sisa dagangan kemarin, banyak yang tidak laku jadi saya jual lagi hari ini,” katanya serta menambahkan jika memang tidak laku terus mereka akan mengonsumsinya sendiri.
Pasar Gelael adalah pasar kaget yang dibuka di pelataran di depan toko swalayan Gelael, tempat kaum perempuan pribumi Papua menjajakan dagangan sayur-mayur dan buah-buahan.
Para pedagang mayoritas orang-orang Paniai yang bermukim di bukit-bukit di kota Jayapura dan memanfaatkan hasil kebun atau membeli bahan dagangan dari pasar Abepura serta menaikkan harganya untuk menangguk sedikit keuntungan, kata Hana Hikoyabi, wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP).

Menurutnya, “para mama” tersebut adalah contoh segelintir perempuan Papua yang harus menghadapi kenyataan hidup untuk mencari nafkah dengan keras.

“Mereka bangun subuh untuk membeli bahan dagangan atau memanen dari kebun, kemudian mengurus rumah tangga seperti menyiapkan anak sekolah, memasak, mencuci hingga siang hari dan berangkat berdagang sekitar pukul dua siang,” katanya.

Pasar kaget Gelael memang mulai ramai pada pukul tiga sore hingga pukul sembilan malam, sehingga dapat diperkirakan para pedagang yang mayoritas perempuan itu tiba di rumah sekitar pukul 10.00 Wita.

Mereka pada umumnya berpendidikan rendah, tidak memiliki waktu untuk diri sendiri bahkan ditengarai ada suami-suami yang menguasai uang hasil keringat mereka untuk kepentingan pribadi.

Dolvina Mote, yang penampilannya terlihat lebih tua dari usia 30 tahun, mengaku mempunyai sembilan anak dan yang pertama berusia 15 tahun sedangkan yang terkecil berusia tiga tahun.
Sejak suaminya pensiun pada usia 40 tahun, ia juga menjadi tumpuan keluarga untuk kelangsungan hidup mereka.

Dolvina membeli sayur mayur seperti kacang panjang, daun pepaya, kangkung dan jenis lain dari pasar Abepura, kemudian menjualnya lagi di pasar kaget Gelael dengan mengurangi jumlah ikatan sayur-mayur itu misalnya dari enam untai kacang panjang ia buat menjadi tujuh untai, untuk menaikkan keuntungan.

Ia menilai perbuatannya bukan kecurangan karena harga jual di pasar tersebut memang lebih mahal, dari pasar Abepura, mengingat lokasinya di pusat kota.

Seperti juga iparnya Yuliana, Dolvina tidak bisa menjawab bagaimana ia menghidupi keluarganya apabila ia tidak bisa berdagang karena sakit.

“Kalau sakit saya beli obat saja di warung dan diam di rumah, besok kerja lagi,” katanya.
Bukan hanya Dolvina dan Yuliana yang menghadapi masalah tersebut, para perempuan perkasa yang menjadi tiang keluarga itu, tidak pernah memikirkan dirinya sendiri apakah sehat atau sakit, setiap hari mereka harus siap dengan tugas-tugasnya.

Keberadaan perempuan asli Papua sebagai pedagang di pasar kaget dan pasar resmi di Jayapura sangat mudah dilihat, kebanyakan mereka menjual hasil bumi baik dipetik dari kebun atau membelinya dari pasar.

Mata dagangannya antara lain buah pinang, ubi, kangkung, bunga pepaya, buah nenas, pisang, tomat dan cabe yang merupakan keperluan sehari-hari untuk konsumsi masyarakat.

Meskipun demikian, eksistensi mereka sebagai pedagang seringkali sangat labil karena terancam oleh pedagang pendatang yang mempunyai modal dan ketrampilan berdagang lebih baik, atau oleh aturan tata kota dan ketertiban kota yang sering menjadi “musuh” para pedagang kecil itu.

Dalam liputan utama tabloid Suara Perempuan Papua (SPP) no 18 tahun 2005 bertajuk “Pedagang Lokal Tidak Berdaya” diuraikan betapa rentan posisi kaum perempuan pedagang itu.
Kepala Badan Pengawas Pembangunan Daerah Papua Marthinus Howay yang dikutip dalam laporan utama itu menyebutkan, para pedagang itu tidak memiliki daya saing karena kurang ilmu, sindikasi pasar dan nilai pasar serta kurang ulet.

Mengenai peran perempuan sebagai penyangga ekonomi keluarga, tokoh adat Ramses Ohee dari Waena mengakui memang cukup besar.

Masyarakat adat di lingkungannya pernah membahas masalah tersebut khususnya menghadapi keluarga dimana para pria yang masih dalam usia produktif atau berbadan sehat, ternyata tidak banyak berbuat untuk mencari nafkah, melainkan mengandalkan jerih payah istri.

“Ini tidak akan baik apalagi jika dilihat oleh generasi muda. Pembinaan harus dilakukan juga kepada pemuda-pemuda,” kata Ramses yang sangat prihatin terhadap pengaruh minuman keras pada kaum laki-laki dewasa dan remaja.

Berdagang memang merupakan salah satu pekerjaan yang paling mudah dilakukan oleh kaum ibu Papua yang tidak memiliki ketrampilan dan latar belakang pendidikan, tetapi mereka perlu juga ditolong dengan pembinaan dan regulasi yang dapat melindunginya, kata Hana Hikoyabi.

Untuk itu, menurut Hana, MRP duduk bersama-sama pemerintah dan semua pihak terkait antara lain dalam menyiapkan regulasi yang tepat dan diperlukan masyarakat.

“Perempuan Papua masih banyak yang tertinggal, jangankan yang di pegunungan dan daerah terpencil, di Jayapura saja masih banyak perempuan terpinggirkan,” kata sarjana lulusan Universitas Cenderawasih yang dipercaya duduk sebagai pengurus MRP itu.

Kuncinya terletak pada kesejahteraan ekonomi, sebab menurut Hana, jika tingkat ekonominya baik, maka kaum perempuan akan mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang baik dan dengan sendirinya akan melahirkan serta mampu mendidik anak-anak dengan baik.
“Papua adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang `Peranan Perempuannya berbentuk “badan” bukan “kantor”, seharusnya lebih maju dan giat memberdayakan kaum perempuan setempat,” tegasnya.

Sementara itu, kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Propinsi Papua, Sipora N.Modouw, MM mengatakan bahwa program-program dari instansinya selama ini adalah advokasi dan pelatihan-pelatihan yang diharapkan dapat meingkatkan peran perempuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Banyak kegiatan yang dijalankan, misalnya, sosialisasi dan advokasi mengenai pentingnya pendidikan, kesehatan khususnya kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi, tegasnya.

Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Exit mobile version