Cegah Disintegrasi, Sejahterakan Rakyat Papua

Muslim Papua

Surat 40 Anggota Kongres AS yang meminta Presiden SBY membebaskan dua tahanan OPM segera menuai reaksi. Panglima TNI mengatakan surat itu jelas merupakan bentuk intervensi. Sementara Menhan Juwono Sudarsono mengatakan sebaliknya , wajar kalau itu dilakukan. Sementara Hizbut Tahrir Indonesia dengan tegas mengatakan itu adalah bentuk intervensi dan sekaligus bentuk nyata dukungan AS terhadap disintegrasi Papua dari Indonesia.

Muncul pula berdebatan bagaimana pemerintah Indonesia harus bersikap. Abdillah Toha dari komisi I DPR mengatakan kita tidak perlu berlebihan mensikapi surat ini. Menurut Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) saat menerima delegasi Hizbut Tahrir di DPR (senin; 11/08/2008) pernyataan kongres tersebut tidak mewakili pemerintah AS dan bukan pula mewakili seluruh anggota kongres. Presiden SBY menurutnya tidak perlu menanggapi surat itu. Ada juga pengamat politik yang mengatakan surat itu anggap saja sampah, tidak perlu dipedulikan.

Kita tentu saja boleh berbeda tentang teknis bagaimana kita mensikapi surat itu. Namun substansi yang ingin disampaikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, surat itu meskipun tidak mewakili seluruh anggota kongres atau pemerintah AS jelas merupakan political warning , semacam sinyal bahaya terhadap ancaman keutuhan wilayah Indonesia. Dan jelas bagi Hizbut Tahrir Indonesia, sebagaimana yang disampaikan oleh Ismail Yusanto sekecil apapun peluang yang memungkinkan terjadinya disintegrasi Indonesia harus dicegah. Dan itu merupakan merupakan persoalan serius. Lepasnya Timor Timur akibat kelalain kita merupakan pengalaman pahit yang tidak boleh terulang.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, berdasarkan syariah Islam disintegrasi dari kesatuan negeri Islam seperti Indonesia adalah sesuatu yang diharamkan. Syariah Islam mewajibkan negara maupun rakyat untuk bersatu dan menghalangi , mencegah siapapun yang ingin memecah belah kesatuan wilayah negeri Islam. Apalagi disintegrasi adalah alat politik negara imperialis seperti AS untuk lebih mencengkram penjajahannya. Semuanya itu kemudian bermuara pada perampokan kekayaan alam negeri Islam termasuk Papua.

Surat 40 Anggota kongres ini bagaimanapun merupakan bentuk intervensi politik, sekecil apapun pengaruhnya . Intervensi tentu tidak bisa kita pahami harus dilakukan oleh pemerintah secara resmi atau anggota kongres secara keseluruhan. 40 Anggota kongres , yang jelas merupakan aktor politik resmi negara AS, jelas memiliki pengaruh politik. Intervensi tentu saja tidak bisa dipahami dalam bentuk gamblang seperti serangan militer atau boikot. Surat 40 Anggota kongres jelas merupakan tekanan politik.

Apalagi kita surat ini diblow up dan dimuat dalam situs ETAN (East Timor and Indonesia Action Networking), LSM internasional yang selama ini diduga punya perhatian penting dalam agenda disintegrasi Timor Timur dari Indonesia. Dalam pernyataan persnya Tom Ricker (advocacy coordinator for ETAN ) bergembira dengan surat anggota Kongres ini dan mengatakan apa yang dilakukan oleh anggota OPM adalah hak politik kebebasan berekspresi mereka.

Hal itu senada dengan isi surat anggota kongres yang menyatakan anggota OPM ditahan karena aktifitas sah dan damai untuk kebebasan bereksperesi (for their involvement in the legitimate and peaceful exercise of their freedom of expression). Sesuatu yang jelas kita tolak. Disintegrasi yang berarti memecah belah kesatuan sebuah negara berdaulat bukanlah hak politik yang legal. Tindakan OPM secara keseluruhan juga jelas bukan tindakan damai tapi juga menggunakan kekuatan senjata.

Perlu juga diperhatikan, intervensi politik AS ini bukanlah untuk pertama kali. Dua anggota Kongres AS, Eni Fa’aua’a Hunkin Faleomavaega asal Samoa dan Donald Milford Payne asal Newark, New Jersey, berhasil menggolkan RUU mengenai Papua Barat yang isinya mempertanyakan keabsahan proses masuknya Papua ke Indonesia. Adanya indikasi campur tangan asing untuk membantu kelompok separatisme sudah tampak dari kehadiran Sekretaris I Kedubes Amerika pada Kongres Papua dan kehadiran utusan Australia, Inggris, dan negara-negara asing lainnya yang menghadiri kongres itu.

Kongres Rakyat Papua yang berlangsung tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 menggugat penyatuan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilakukan Pemerintah Belanda, Indonesia, dan PBB pada masa Presiden Soekarno. Menurut Kongres, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua (Kompas, 05/06/2000).

Artinya , surat anggota kongres ini tidak bisa dilihat berdiri sendiri. Tapi secara keseluruhan menunjukkan upaya sistematis mendukung disintegrasi Papua. Adalah konyol kalau kita percaya 100 persen dengan pernyataan resmi pemerintah AS yang mendukung kesatuan NKRI. Hal yang sama pernah berulang-ulang dikatakan oleh AS dan Australia dalam kasus Timor Timur, bahwa mereka mendukung kesatuan integritas Indonesia. Buktinya, justru merekalah yang paling berperan dalam lepasnya Timor Timur. Percaya pada penjajah adalah kebodohan yang nyata.

Sikap tegas Hizbut Tahrir dalam masalah disintegrasi Papua ini, tentu saja bukan berarti dukungan terhadap pelanggaran kemanusiaan yang harus secara obyektif terjadi di Papua. Bukan pula berarti kita tidak peduli kemiskinan dan ketidaksejahteraan rakyat Papua. Perlu dicatat, kedzoliman itu bukan hanya dirasakan rakyat Papua tapi mayoritas rakyat Indonesia. Kita juga menegaskan pemerintah punya andil yang sangat besar dalam masalah ini.

Namun yang ingin kita katakan bahwa solusinya bukanlah disinterasi atau memisahkan diri. Berbagai kemiskinan dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada rakyat Papua dan juga rakyat Indonesia yang lain justru disebabkan sistem Kapitalisme yang dipaksakan AS di dunia dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Kekayaan alam seperti tambang emas dan minyak , yang sesungguhnya merupakan milik rakyat, diberikan ke asing. Sementara rakyat menderita..

Kita jangan lagi mau diadu domba dan dibodoh-bodohi oleh kekuatan imperialisme asing seperti AS. Isu HAM dan sentimen Agama (kristen) hanyalah alat bagi mereka untuk memprovokasi keadaan. AS tidak punya otoritas moral dan politik lagi bicara HAM. Justru negara itu adalah pelanggar HAM nomor wahid di dunia. Mereka juga tidak peduli nasib umat kristiani di Afrika dan Amerika Latin yang miskin. Justru AS punya andil besar memiskinkan wilayah itu dengan ekonomi kapitalisme globalnya.

Semua itu untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Negara Imperialis seperti AS tidak akan pernah berpikir untuk mensejahterakan rakyat Papua. Yang menjadi fokus mereka adalah menjarah kekayaan alam Papua. Apa yang terjadi di Irak termasuk Timor Timur menunjukkan hal itu. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, alih-alih menjadi negara yang sejahtera. Timor Timur diterlantarkan oleh negara-negara Barat dan menjadi salah satu negara termiskin di dunia.

Dalam konteks inilah Hizbut Tahrir menawarkan solusi syariah Islam . Solusi ini disamping akan tetap memperkokoh persatuan negara yang berarti itu akan memperkuat negara . Syariah Islam juga menjamin kesejahteraan dan keadilan setiap warganya, baik muslim maupun non muslim. Pendidikan dan kesehatan gratis akan dirasakan seluruh rakyat. Syariah Islam akan menjamin non muslim untuk beribadah menurut keyakinan . Menjamin pula persamaan di depan hukum.

Realita itu digambarkan secara jujur oleh T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam , dia menulis : “ Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan terhadap kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,”.

August 12, 2008

Exit mobile version