Demokrasi Khas Indonesia?

Jeffrie Geovanie

Demokrasi Kesukuan: Suatu Pengantar, Sem Karoba, dkk.

Mengapa kita harus berlindung dibalik adagium yang segalanya khas Indonesia, sampai dalam berdemokrasi pun, kita lebih suka atas nama khas Indonesia?

Saya kira, sumbernya berakar dari kerapuhan karakter, mentalitas inferior, yang kemudian menemukan justifikasi dalam pemaknaan nasionalisme yang sempit. Dengan begitu, reformasi boleh saja digagas dan digerakkan, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) boleh saja digagas dan ditegakkan, tapi jangan coba-coba dilepaskan dari apa yang disebut dengan kearifan lokal. Maka tak perlu heran, atas nama kearifan lokal, demokrasi dan HAM terdistorsi sehingga kehilangan substansi.

Contoh kecil, secara kelembagaan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) enggan kita sebut senator karena dianggap khas Barat. Sistem dua kamar dalam lembaga legislatif, kita merasa lebih nyaman menyebutnya sebagai bikameral ala Indonesia. Akibatnya, secara kelembagaan DPD tidak berkutik di hadapan DPR. DPD tidak bisa berperan maksimal karena posisinya sangat lemah. Ibaratnya, keberadaan DPD hanya menjadi bunga-bunga demokrasi yang dibutuhkan, tapi bukan untuk peran-peran yang signifikan.

Umumnya, kita malu atau tabu meniru sesuatu yang datang dari Barat meskipun jauh lebih baik, lebih efisien. Hanya karena -lagi-lagi- dianggap tidak khas Indonesia, kita lebih suka meniru budaya Barat secara parsial, sepotong-sepotong, yang sesuai selera diambil, yang tidak sesuai selera dicampakkan. Akibatnya lihatlah, negeri kita serba tanggung, demokrasi yang diadopsi setengah-setengah membuat kita gamang baik secara politik maupun ekonomi. Sistem yang tanggung nyatanya tidak membuat kita maju, malah semakin terpuruk.

Kekolotan dan kepongahan, inilah kombinasi sikap yang membuat kita sulit membangun soliditas, susah saling percaya. Lihat misalnya, kalau ada orang atau kelompok yang mengkritisi dengan mengajukan gagasan mengapa kita tidak mengadopsi saja, segala aturan main dan undang-undang dalam berdemokrasi seperti milik Amerika Serikat misalnya maka baik yang berusia lanjut maupun yang masih muda, dengan sigap dan garang menolak mentah-mentah gagasan ini. Yang tua menganggap Amerika merusak, Barat membuat kita sengsara. Mereka tetap mengagumi dan berusaha menerapkan jargon Bung Karno jaman kolonial, “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”.

Sementara dari kalangan pemudanya, tidak sedikit yang menelan jargon itu bulat-bulat, mengucapkannya dengan semangat patriotisme jaman perang di era sekarang. Menerapkannya dengan dalih untuk mewarisi semangat juang para founding fathers, sebuah kepicikan yang dibanggakan. Dari kalangan mereka, ada yang dengan pongahnya mengatakan bahwa Amerika bukanlah contoh yang baik, Inggris bukan contoh yang patut ditiru. Demokrasi kita sangat khas dan jauh lebih sempurna.

Sebagai komponen anak muda, saya agak malu juga melihat kenyataan ini. Di satu sisi ada kekolotan, di pihak lain ada kepongahan. Klop. Tampaknya keterpurukan negeri ini disebabkan karena cara berpikir dan sikap kita sendiri yang memang cenderung menolak kemajuan, enggan melakukan pembaruan. Apa boleh buat, begitulah yang biasanya terjadi di negeri ini. Jargon Keindonesiaan dijadikan alat yang paling efektif untuk menolak gagasan-gagasan baru, terutama yang dianggap berbau asing, kebarat-baratan.

Saatnya Membuka Diri

Meskipun sudah 10 tahun kita menjalani hidup dibawah payung orde reformasi, namun kita masih disibukkan oleh perdebatan-perdebatan ketatanegaraan, rancangan undang-undang berbagai hal, yang tidak kunjung selesai. Haruskah kita mengulangi pengalaman panjang seperti Amerika Serikat dalam berdemokrasi yang meretas jalan ratusan tahun lamanya untuk sampai seperti sekarang?

Sudah saatnya kita membuka diri pada kemungkinan masuknya gagasan, panetrasi budaya yang mampu mengikis kekolotan, menumbangkan kepongahan. Kedua sikap antikemajuan itu biarlah menjadi masa lalu, menjadi salah satu warisan budaya yang unik.

Diperlukan kerendahan hati, kekuatan keyakinan, dan kelembutan sikap, untuk mengakui bahwa kita memang masih perlu belajar, menerima dan menyontoh sesuatu yang lebih baik dan lebih efektif untuk perbaikan sistem sosial dan ketatanegaraan. Keterbukaan pikiran dan sikap sangatlah penting, di samping keharusan bekerja keras. Semua itu kita lakukan untuk semaksimal mungkin memberikan kesejahteraan bagi masyarakat negeri ini.

Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar

Last modified: 8/7/08

Exit mobile version