Inflasi Moralisme dan Rasionalitas Kekuasaan

Inflasi Moralisme dan Rasionalitas Kekuasaan Thomas Koten Panggung-panggung elite negeri mutakhir tidak henti-hentinya mempertontonkan paradigma kekuasaan yang tidak pernah bebas dari kritik masyarakat yang penuh sinisme. Masalahnya, kekuasaan yang semestinya menjadi “panggung” untuk mengelola negara semakin dijadikan sebagai ajang untuk menguras harta. Gelagat suap dan korupsi di Mahkamah Agung, DPR, politik uang, dan berbagai kebobrokan di tingkat elite, memperlihatkan betapa kaum elite atau penguasa negeri ini selalu melakukan berbagai akrobat yang tidak terpuji tanpa malu-malu. Yang menarik, pada saat yang bersamaan diskursus mengenai moralitas pun begitu menyengat, memenuhi akustik ruang publik. Seruan mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan etika tidak henti-hentinya digelontorkan untuk diperbincangkan dengan harapan ia menjadi bahasa profetik yang dapat mencerahkan kehidupan keberbangsaan. Dengan pengandaian bahwa moralitas dan nilai-nilai etik yang disuarakan dapat menjadi obor penerang bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa, karena ia dapat mendorong perbaikan perilaku elite negara. Ironisnya, kata-kata agung yang disuarakan itu tetap menjadi bahasa sunyi yang hilang ditiup angin. Keadaan ini tidak ubahnya di era Soeharto, di mana Orde Baru sendiri merupakan wujud nyata dari sebuah tatanan politik yang mencoba menempatkan moralitas dan nilai-nilai etik lainnya dalam persoalan-persoalan publik. Setiap penyelewengan di birokrasi tidak diakui sebagai sebuah pelanggaran hukum, tetapi hanya dikatakan sebagai kesalahan prosedur. Maka, birokrasi pun selamat dari “cacat moral” dan karenanya tidak harus bertanggung jawab secara hukum. Tetapi, lebih ironis lagi paradigma moralitas yang benar-benar gagal dalam eksperimentasi Orde Baru itu terus direproduksi melalui cara-cara yang hampir sama. Berbagai “cacat moral” yang menyergap dalam diri kaum elite, misalnya, bukan saja dilindungi oleh institusinya, justru institusi dikonsolidasi untuk melindungi “cacat moral” yang menyergap oknum. Inflasi Moralisme Kekuasaan sesungguhnya adalah “panggung” dalam mengelola negara. Tetapi, tatkala kekuasaan diartikan sebagai dunia perebutan takhta dan harta negara maka yang terjadi di arena kekuasaan adalah aksi korupsi, “saling memeras”, dan setiap lawan politik yang dianggap mengancam dibabat sampai habis. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, “tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan”. Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang agung bagi terciptanya kemaslahatan bersama pun dapat berubah menjadi ruang pertikaian yang tanpa ujung. Ruang demokrasi yang lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak dapat berubah menjadi ruang rembuk untuk menghasilkan permufakatan jahat. Demokrasi yang mewajibkan praktik deliberasi, yaitu keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi dan mengontrol roda penyelenggaraan negara, dapat dibelokkan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang kuat atau yang berkuasa. Suara rakyat dieksploitasi demi memenangkan kepentingan politik kekuasaan. Maka bermuaralah kita pada persoalan moralitas. Moralitas hakikat dasarnya menawarkan suatu sistem prinsip-prinsip dan nilai-nilai agung yang terkait dengan perilaku manusia, yang umumnya diterima oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names ‘for’ our relation to the moral law. Tetapi, apakah nilai-nilai moral yang digemakan dan menjadi tema sentral dalam diskursus publik dapat memperbaiki karakter para penguasa? Pertanyaan ini menjadi penting tatkala kekuasaan itu senantiasa digunakan sebagai kesempatan dan areal untuk menguras uang negara, sehingga kekuasaan cenderung merusak moralitas dan mencederai karakter para pemilik kekuasaan. Segala “cacat moral” atau “penyelewengan moral” di antara para penguasa malah ditutup-tutupi oleh rekan-rekannya. Pembohongan masyarakat umum dianggap prestasi. Dalam dunia politik, misalnya, masyarakat bahkan sering menyebut politisi yang licik mengatasi segala permainan kotor di dalam arena politik dianggap sebagai politisi tulen. Maka dalam hal ini, terhadap para penguasa yang doyan menyelewengkan moral, seruan, dan imbauan moral ibarat menepuk air di dulang, tidak ada manfaatnya. Atau, mengharapkan perbaikan karakter para penguasa hanya dengan imbauan moral, ibarat membuang kapas di hulu sungai atau sama artinya menggarami lautan. Sehingga, tidak heran pula jika tema moralitas kerap ditertawakan para ahli dan dikorupsikan oleh penguasa dan politisi sendiri. Moral yang merupakan pusat orientasi sikap dan perilaku elite menjadi sia-sia. Ditandingi Sejak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri. Sejak itu pula segala inflasi moralisme dari atas ditandingi dari arah yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung. Oleh karena itu, benar kata Perdana Menteri Inggris William Gladstone, sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sebagaimana juga kata Herbert Hooner, presiden ke-31 AS, yang dikutip oleh harian The New York Times edisi 9 Agustus 1961, When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened (moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan. Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya “mengikat” diikuti segala sanksi hukumnya. Maka dalam mengkritisi penguasa dengan segala sepak terjangnya bukan hanya sesuatu yang bersentuhan dengan moralitas, tetapi hendaknya pula ditekankan pada rasionalitas, yaitu rasionalitas kekuasaan. Proses-proses kekuasaan hendaknya diarahkan bukan hanya pada paradigma moralitas, tetapi juga pada paradigma rasionalitas sebagai penjelasan. Karena dunia kekuasaan dan politik adalah dunia yang begitu riil, rasional, dan obyektif. Juga karena jika peralihan dari paradigma moralitas ke paradigma rasionalitas saja pun tidak akan langsung memperbaiki keadaan, terutama di tengah realitas masyarakat kita yang oleh Alasdair MacIntyre dalam Whose Justice? Which Rationality (1988), dikatakan, kurang memiliki rational consensus terhadap rentetan masalah moral yang sedang terjadi. Padahal, sama sekali tidak dapat dimungkiri bahwa peran rasionalitas sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat atau seseorang, dan bagaimanakah seharusnya bertindak. Karena memang kasus-kasus sosial, politik-kekuasaan dan ekonomi dalam negara bermula dari perilaku penguasa-elite negara dan warga negara yang melupakan pentingnya rasionalitas dan nilai-nilai moral dasar dalam hidup, seperti keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Penulis adalah Direktur Social Development Center Last modified: 8/7/08

Exit mobile version