Surat Terbuka Gereja di Papua Barat kepada Gereja, Lembaga Internasional, Keluarga dan Perorangan

Kepada Yang Terhormat,
Pemerintah (Negara-Negara), Gereja-Gereja dan Lembaga-lembaga Internasional, Keluarga dan Perorangan
Di Seluruh Dunia.
Perihal: Suara Gereja Memohon Perlindungan Penduduk Asli Papua Barat.

Papua Barat, 24 Juni 2008
Semua Yang Terkasih dan Terhormat,

Ijinkanlah saya atas nama umat Tuhan yang tertindas selama 45 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang ini, saya mau menggambarkan situasi terkini di Tanah Papua Barat yang dihadapi dan dialami oleh penduduk asli Papua. Seruan ini bagian yang terpenting dan tak terpisahkan dari suara Gereja dari Tanah Papua Barat bagi rakyat yang tak bersuara dan yang membisu akibat kekejaman dan kekerasan Pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI, POLRI, dan Perangkat Hukum, PP dan Keppres.

Penduduk asli Papua, orang Melanesia adalah pemilik Tanah Papua Barat yang memiliki sejarah, bahasa, kebudayaan sendiri, karena Tuhan sendiri telah memberikan leluhur dan nenek moyang mereka untuk berada, hidup dan berkaya serta memelihara Tanah dan Negeri Melanesia ini. Mereka ditempatkan oleh Allah sendiri melalui rencana dan kehendak-Nya tanpa persetujuan seseorang atau suatu Negara di dunia ini,”Tuhan Allah berkata: Marilah Kita menjadikan manusia sesuai gambar dan rupa kita”.

Dalam keberadaan penduduk asli Papua di negeri dan tanah mereka sendiri dalam kasih, anugerah, berkat serta pemeliharaan Tuhan, datanglah Pemerintah Belanda sejak 1828 dan tinggal dan hidup bersama penduduk asli Papua. Belanda membangun, mendidik dan memajukan penduduk asli Papua. Belanda tidak pernah mencederai dan melukai hati penduduk asli Papua bahkan sejarah mencatat bahwa satu peluruh tentara Belanda tidak pernah mengenai tubuh orang asli Papua, walaupun Belanda disebut Penjajah oleh orang-orang Melayu, Indonesia.

Selain Belanda, Gereja datang ke Tanah Papua sejak 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam, Manokwari, sekarang ibu kota Provinsi Irian Jaya Barat (Provinsi Boneka Indonesia). Gereja datang membawa peradaban baru, misi kemanusiaan, nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian, kesamaan dejarat, kebebasan, kemerdekaan yang bersumber dari SALIB Yesus Kristus merupakan kekuatan Allah.

Jadi, Tuhan Allah sendiri sebagai Pencipta dan Pemilik umat manusia, termasuk penduduk asli Papua, Leluhur dan Nenek Moyang orang Melanesia atau penduduk asli Papua, Pemerintah Belanda sejak 1828, Gereja sejak 5 Februari 1855 tidak pernah memberikan stigma anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka), Gerakan Separatis, Pembuat Makar yang melecehkan dan merendahkan kehormatan dan martabat penduduk asli Papua.

Tetapi sayang, Pemerintah Indonesia secepatnya merampas dan menduduki Tanah Papua Barat dengan kekuatan militer sejak 19 Desember 1961 melalui Maklumat TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) dari Ir. Suekarno, Presiden RI pertama dan melalui rekayasa Perjanjian New York 15 Agustus 1962, penyerahan administrasi dari UNTEA kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 tanpa diketahui penduduk asli Papua, melalui Pelaksanaan PEPERA 1969 (Act of Free Choice) di Papua Barat yang tidak demokratis dan dibawa tekanan kekuatan militer Indonesia dan hanya dipilih 1.025 orang oleh Pemerintah dan TNI untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia dan TNI dan POLRI langsung memberikan stigma penduduk asli Papua dengan stigma anggota OPM, gerakan separatis, dan pembuat makar. Dengan stigma-stigma yang tidak manusiawi itu, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kejam dan brutal dilakukan oleh Pemerintah, TNI dan POLRI dalam bentuk pengejaran, penangkapan, penyiksaan, penculikan, penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan atas nama menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia tanpa mempertimbangkan nilai-nilai manusia. Itu hanya dengan empat agenda dan kepentingan besar pemerintah Indonesia yaitu: ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan penduduk asli Papua secara sistematis.

Jadi, masalah serius dan kesukaran serta penderitaan yang dialami oleh penduduk asli Papua sekarang selama 45 tahun ini adalah penduduk asli benar-benar dalam proses pemusnahan secara sistematis dalam segala aspek hidup mereka.

Masalah-Masalah Mendasar di Papua Barat sebagai berikut:

1. Keamanan hidup dan kebebasan penduduk asli Papua di negeri dan tanah mereka sendiri terancam. Pembangunan basis-basis TNI dan POLRI di seluruh Tanah Papua Barat tanpa memikirkan keamanan dan keselamatan serta kelangsungan hidup penduduk asli Papua. Kelihatannya, anggota TNI dan POLRI yang dulu beroperasi dan membunuh orang-orang Timor Leste dan Aceh itu semua di kirim ke Tanah Papua Barat. Mereka lebih banyak dikirim dalam berbagai bentuk profesi. Sebagai contoh ialah tukang baksa, penjual es krim, tukang ojek, penjaga hotel, penjaga tokoh, sopir dan berbagai bentuk penyamaran di seluruh sudut Tanah Papua Barat.

2. Ada berbagai PP (Peraturan Pemerintah) dan KEPRES (Keputusan Presiden) yang benar-benar menghancurkan masa depan penduduk asli Papua Barat dan juga menghancurkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus seperti: Keppres No. 1 Tahun 2003 Tentang Provinsi Irian Jaya Barat (IJB), Inpres No. 5 Tahun 2006 Tentang Percepatan Pembangunan, PP 27 Tahun 2007 yang melarang menggunakan simbol-simbol daerah Papua Barat, Kepres No. 1 Tahun 2008 tentang
Pengganti UU untuk pembagian dana Otsus dari Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat (IJB).

3. Pemerintah Indonesia dan DPR RI lebih cepat dan rajin serta lancar mengeluarkan PP dan Keppres tetapi pemerintah Indonesia menghambat dengan berbagai cara dan alasan untuk menghambat atau membatalkan bahkan menggagalkan rencangan Perdasi dan Perdasus sebagai penjabaran dari UU Otsus No. 21 Tahun 2001 yang adalah buatan UU pemerintah Indonesia dan DPR RI sendiri.

4. Pemekaran Provinsi dan kabupaten dilakukan di seluruh Tanah Papua Barat tanpa mempertimbangkan letak geografis, jumlah penduduk, sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM) dan juga tanpa mengevaluasi kabupaten-kabupaten yang sudah dimekarkan sebelumnya. Para Pejabat dan pengambil keputusan di wilayah pemekaran kabupaten benar-benar dikuasai dan didominasi oleh orang-orang Melayu, Indonesia. Contoh terbaru adalah Kabupaten Pemekaran Baru
Lanny Jaya, dimana warga 100% Kristen dan juga 100% umat Baptis, Pejabat Bupati Caretakernya seorang pendatang yang nama Pribadi, sementara anak asli daerah yang bernama Wiklif Wakerkwa sudah memenuhi syarat tetapi ditolak. Pemekaran kabupaten dan Provinsi adalah pendekatan politik, pengelompokan penduduk asli Papua sesuai dengan suku dan daerahnya sendiri untuk mengadu domba penduduk asli Papua, perampasan tanah dan penyingkiran penduduk asli Papua dan operasi militer, operasi transmigrasi, operasi pemusnahan etnis gaya baru secara sistematis. Kata kuncinya seluruh pemakaran Provinsi dan kabupaten di Tanah Papua Barat adalah kerjanya TNI sebagai upaya pengkondisian wilayah dan operasi militer yang lebih efektif dan efisien.

5. Kemajuan dalam bidang pendidikan pada saat jaman Belanda dan Gereja di Tanah Papua Barat sangat berkualitas dan terus maju serta berkembang di kota-kota maupun di pedalaman. Tetapi, setelah pemerintah Indonesia menduduki Tanah Papua Barat, lembaga pendidikan yang dimiliki Gereja seperti: Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik ( YPPK) Sekolah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili
(YPPGI), Sekolah Yayasan Advent yang berada di seluruh Tanah Papua Barat selama hampir 100 tahun sebelum pemerintah Indonesia merampas dan menjajah Papua tidak diperhatikan bahkan dibiarkan oleh Pemerintah Indonesia.

6. Pelayanan kesehatan terhadap penduduk asli Papua sangat memprihatinkan. Kematian ibu, anak-anak bahkan penduduk asli Papua dalam indeks yang sangat tinggi. Pemerintah Indonesia tidak serius mengurus kesehatan penduduk asli Papua. Sangat memprihatinkan adalah dalam era Otonomi Khusus apotik-apotik berkembang secara pesat dan cepat di seluruh Tanah Papua Barat. Para dokter pendatang, orang Indonesia benar-benar mengeksploitasi penduduk asli Papua karena obat-obat yang berkualitas, bermutu baik yang dibeli dengan dana Otonomi Khusus diambil oleh para dokter dan dijual di opotik-apotik pribadi mereka. Setiap pasien yang datang hanya diperiksa dan diberikan resep untuk membeli obat di apotik milik dokter. Pelayanan kesehatan ini sangat berlawanan dengan pelayanan bidang kesehatan pada masa Belanda dan Gereja di Papua Barat. Pemerintah Belanda dan Gereja membuka pos pelayanan kesehatan di seluruh Tanah Papua Barat dari pesisir pantai sampai di daerah-daerah terpencil. Semua aset balai pelayanan kesehatan itu dibiarkan dan dihancurkan oleh pemerintah Indonesia.

7. Secara ekonomi penduduk asli Papua benar-benar tersingkir karena kaum pendatang, orang Melayu lebih siap dan terampil. Penduduk asli Papua menjual hasil bumi mereka di atas tanah beralaskan daun pisang di tengah-tengah atau di pinggir gedung-gedung megah di seluruh Tanah Papua. Di Pasar-pasar sekarang di seluruh Tanah Papua Barat, pisang, sagu, kepala yang dimiliki oleh penduduk asli Papua itu dijual oleh para pendatang. Kaum pendatang benar-benar
mendominasi dan monopoli dalam bidang ekonomi di Papua Barat. Contoh lain adalah penjualan kain batik bercorak Papua dkuasai dan dijual oleh para pendatang. Seluruh pelayan toko, rumah makan, hotel, karyawan bank, tarnsportasi darat, laut, udara, karyawan tiket semuanya dikuasai oleh orang-orang Melayu, Indonesia.

8. Sejak Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 berlaku di Papua Barat jumlah orang Melayu, Indonesia terus meningkat hampir setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Dan jumlah anggota TNI juga terus meningkat di seluruh Tanah Papua Barat. Jumlah penduduk pribumi semakin merosot tajam. Pemusnahan etnis Melanesia benar-benar terajdi secara sistematis yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Karena itu, perlu ada pendataan penduduk asli melalui
lembaga internasional untuk mengetahui secara pasti penduduk asli Papua Barat.

9. Pemerintah Indonesia juga melarang masuknya diplomat asing, wartawab asing, pekerja Hak Asasi Manusia, dan lembaga-lembaga kemanusiaan Internasional dan juga Gereja-gereja. Apa yang disembunyikan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua Barat?

10. Pemerintah Indonesia juga membatasi bahkan melarang para misionaris yang sangat berjasa melayani dan membangun penduduk asli Papua sejak 5 Februari 1855 sebelum Pemerintah Indonesia merampas dan menjajah Papua melalui Rekayasa PEPERA 1969.

11. Pada tanggal 18 April -19 Mei 2008, Tim dari Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua melakukan pelayanan kunjungan pastoral dan pemutaran film sejarah Gereja Baptis di kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, kami benar-benar diintimidasi dan diteror oleh TNI, Kopassus yang bertugas di pegunungan pedalaman. Kami ditanya dengan pertanyaan: kamu darimana? Siapa yang menyuruh putar film ini? Tujuan apa memutar film dan mengapa banyak orang yang berkumpul ini? Ironis benar, Pemerintah Indonesia, TNI dan POLRI datang merampas tanah Papua dan menjajah penduduk asli Papua hanya 45 tahun, tetapi tampa rasa malu saja bertanya kepada pemilik dan gereja yang berada beratus-ratus tahun di Tanah Papua. Ini wajah kekerasan militer dan ketidakbebasan dan terancamnya penduduk asli Papua dan gereja-gereja di Tanah Papua Barat.

Kesimpulan: Pemerintah Indonesia sendiri tidak serius, tidak konsisten melaksanakan UU Otonomi KHusus. Otonomi Khusus menjadi alat malapetaka dan penghancuran masa depan penduduk asli Papua. Jadi, Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 sebagai alat solusi final masalah status politik Papua telah GAGAL TOTAL.

Rekomendasi:

1. Tanah Papua Barat dari Sorong sampai Merauka tetap dijaga sebagai
Tanah Damai dalam satu kesatuan yang utuh.
2. Evaluasi Secara total UU No. 21 Tahun 2001 melibatkan seluruh
komponen penting dari penduduk asli Papua, Pemerintah Indonesia
termasuk masyarakat Internasional.
3. Diadakan dialog yang jujur dan adil antara masyarakat asli Papua,
Pemerintah Indonesia yang dimediasi masyarakat Internasional
seperti kasus Aceh.
4. Menarik semua pasukan TNI Organik dan Non Organik di Papua Barat.
5. Membuka kesempatan seluas-luasnya diplomat asing, pekerja hak
asasi manusia, wartawan asing dan gereja-gereja internasional
masuk ke Papua Barat.

Latar Belakang

Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 lahir dan ditawarkan Pemerintah Indonesia kepada penduduk asli Papua karena seluruh penduduk asli Papua
menuntut kemerdekaan penuh di atas tanah dan negeri leluhur mereka sebagai orang Melanesia. Tuntutan mereka berdasakan alas an-alasan sebagai berikut:

(1) Pembuatan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tidak pernah melibatkan penduduk asli Papua sebagai pemilik dan ahli waris Tanah Papua Barat.

(2) Pelaksanaan PEPERA 1969 (Act of Free Choice) di Papua Barat tidak demokratis dan dibawa tekanan kekuatan militer Indonesia dan hanya dipilih 1.025 orang oleh Pemerintah dan TNI untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia.

(3) Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kejam dan brutal dilakukan oleh Pemerintah, TNI dan POLRI dalam bentuk pengejaran, penangkapan, penyiksaan, penculikan, penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan atas nama menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia tanpa mempertimbangkan nilai-nilai manusia.

(4) Perampasan tanah milik penduduk asli atas nama pembangunan yang diserahkan kepada penduduk pendatang yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan juga tanah pengembangan sayab militer di seluruh Tanah Papua Barat. Sudah banyak tanah yang hilang dari tangan penduduk asli Papua.

(5) Penghancuran dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan hutan-hutan dijarah, gunung-gunung, air dicemarkan, hasil laut diambil dirampas dan semua ini didukung oleh aparat militer dan penguasa di Jakarta. Semua ini tanpa mempetimbangkan dan memperhitungkan nasib dan masa depan kelangsungan hidup penduduk asli dan anak serta cucunya.

(6) Pengusaan sumber-sumber ekonomi oleh para pendatang dan akibatnya penduduk asli Papua benar-benar tersingkir dan menjadi penonton dan menjadi orang asing di negeri sendiri.

TUHAN MEMBERKATI, MELINDUNGI DAN MENJAGA KITA SEMUA

Socratez Sofyan Yoman
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat
Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Alamat: Jl. Jeruk Nipis Kotaraja, PO Box 1212
Telp. 62-967-583462
HP: 08124888458

Exit mobile version