Menguak Kisah Cerita Rakyat Dibalik Tarian Tradisional Masyarakat Papua

Bulu Kuning di Atas Kepala Ondoafi Bernilai Sakral

Festival Danau Sentani (FDS) Ahad (22/6) secara resmi ditutup oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu,SH.Banyak bentuk tarian yang dipertunjukkan dari berbagai daerah yang menyimpan cerita sejarah menarik.Makna apa saja yang tersimpan dari ragam bentuk tarian itu?

Laporan:ABDEL GAMEL NASER-Sentani

KERAGAMAN budaya dan adat istiadat memang melahirkan beragam seni dikalangan masyarakat. Tak terkecuali di Papua dan lebih khusus lagi di Kabupaten Jayapura. Berbagai tarian adat atau tradisional bisa kita lihat pada Festival Danau Sentani (FDS). Berbagai tarian yang ditampilkan sarat dengan makna budaya itu sendiri.

Tarian Kikaro dari Doyo Lama misalnya, jumlah bulu berwarna kuning yang disisipkan pada hiasan kepala seorang ondoafi ternyata menandakan jumlah orang yang telah tewas dalam perang suku.Diceritakan sejarahnya bahwa sekitar tahun 1700 terjadi perang suku antara suku Kitung Babatung (sekarang Waibron) dengan Kampung Doyo Lama karena memperebutkan tanah.

Akhir dari perang tersebut akhirnya dimenangkan oleh Doyo Lama setelah seorang panglima perang bernama Dopoy dari suku Ebey berhasil menewaskan seorang kepala suku dari Kitung Babatung bernama Dani juga warga sekampungnya, sementara seorang Ondoafi bernama Kamakurung dari suku Pangkatana ikut tewas.

“Dari perang tersebut kami coba angkat kembali sejarahnya dan bulu di atas kepala saya ini menandakan jumlah orang yang tewas di tangan saya,” ungkap Robert Kaway yang berperan sebagai Ondoafi dalam tarian tersebut.

Dikisahkan usai perang melawan Kitung Babatung, menyusul pula perang antara Doyo Lama yang dipimpin oleh Nuguboy Kendi melawan Yagua Dotobeketo (sekarang Yahim) dan akhirnya kembali menang.Kisah ini sedikit menyimpulkan bahwa status lokasi tanah saat itu bisa diperoleh melalui perang.Jika menang maka suku tersebut bisa mendiami bahkan menggeser suku sebelumnya yang menempati.

“Dalam sejarah tersebut selain ondoafi, sosok panglima perang juga sangat disegani karena semua komando perang ada padanya.Peperangan tidak hanya menggunakan alat perang tetapi tentu disisipkan ilmu kebal maupun ilmu yang bersumber dari kekuatan alam,” jelas Yangke Warereo sebagai panglima perangnya.

Cerita berbeda diusung Kampung Yoka dengan tarian Ahokoy.Dikatakan tidak banyak yang mengetahui cerita sejarah ini sehingga kembali diangkat bahwa terbentuknya beberapa pulau dan penduduk yang mendiami disekitar Danau Sentani adalah dari cerita ini.

Dikisahkan berawal dari kedatangan suku Hebeibulu dari Fonom, Papua New Guinea dengan tujuan hendak ke daratan Yoka yang diantar oleh ondoafi besar yang istrinya saat itu sedang hamil besar.”Nama ondoafi itu tidak bisa saya sebutkan,” tutur Yehuda Deda yang juga sebagai Kepala Suku Heleube, Yoka.Enggan menyebutkan nama ondoafi tersebut bukan tanpa alasan melainkan karena sangat sakral untuk dipublikasikan ke khalayak umum hingga dilarang untuk disebut sembarangan.
Saat itu dikatakan rombongan diantar Ondoafi besar bersama sang istri yang mengenakan tudung habana menutup wajahnya didampingi dua anak perempuan bernama Hay dan Hebaykoi.

Setibanya ditempat tujuan sang istri kemudian melahirkan dua anak laki-laki bernama Assa dan Kalo.Setelah cukup usia keduanya berpisah dimana Assa memilih tinggal di pulas Asei dan Kalo tetap di Yoka.Dari perjalanan hidup dua anak ini akhirnya kampung Asei disebut sebagai kampung tua.
“Asei kami namakan kampung matahari dan Yoka dinamakan kampung bulan karena saat rambut kedua pemuda tersebut dipotong, tampak bentuk matahari pada kepala Assa dan bulan pada kepala Kalo,” lanjut Yehuda dengan peralatan keondoafian yang dikenakan.

Beberapa pernak pernik yang dikenakan saat pentas tari menurut Yehuda sangat sakral dan tidak sembarang orang boleh memegang.Seperti gelang batu dan manik-manik batu penyeimbang serta batu magic yang akan memanjang jika ada niat jahat dari orang lain.”Pernak-pernik yang saya kenakan asli milik kepala suku dan hanya boleh dipegang jika mendapat izin sebab jika tidak maka bisa terjadi apa-apa,” imbuhnya mengingatkan Cenderawasih Pos yang sempat menyentuh beberapa kali gelang batu.(*)

Exit mobile version