SP Daily: Politik atau Politisasi Agama?

Richard Daulay

engenai hubungan agama dan negara sebuah tesis berbunyi: Revivals often occur when politics is broken, when it fails to address the most significant moral issues of the day. Social movement then rise up to change politics, and the best movements usually have spiritual foundations” (Kebangunan rohani biasanya muncul ketika politik rusak, ketika politik gagal mengatasi isu-isu penting menyangkut moralitas masyarakat. Kemudian gerakan sosial muncul untuk mengubah politik dan gerakan sosial yang benar biasanya mempunyai dasar spiritual yang kuat). (Jim Wallis, The Great Awakening: Reviving Faith & Politics in A Post-Religious Right America. (New York: HarperCollins, 2008), hal 2)

Sejarah mencatat, abad ke 18, gerakan kebangunan rohani (revival) terjadi di Inggris dan Eropa, dalam konteks masyarakat industri yang baru muncul. Roh pencerahan meracuni gereja. Ideologi kapitalisme menciptakan jurang antara si kaya dan si papa. Politik di Inggris saat itu benar-benar lumpuh tak berdaya. Muncullah revival yang merupakan gerakan rangkap. Gerakan spiritual dan gerakan sosial. Gereja-gereja di Eropa yang sempat “suam-suam kuku” dibangunkan, dan nasib orang miskin diperjuangkan. Praktik perbudakan digugat dan akhirnya dihapus. Berbagai undang-undang yang menjamin keadilan dan demokrasi dibuat. Inggris berubah menjadi negara yang paling kuat di dunia. Bahasa Inggris menjadi bahasa dunia.

Gerakan Yesus juga adalah gerakan rangkap: gerakan kebangunan rohani dan gerakan sosial. Dalam konteks sosial-politik yang rusak pada zaman itu, di mana terjadi ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, Yesus memproklamasikan agenda kebangunan rohani dan perjuangan sosial, seperti terdapat dalam Lukas 4: 18-19: “Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang- orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Yang pertama menjadi perhatian Yesus adalah nasib orang miskin. Dalam seluruh pelayanan dan pengajaran Yesus, orang miskin menjadi fokus. Kepada orang miskin diberikan optimisme “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Matius 5: 3). Kerajaan sorga yang di- tawarkan kepada orang miskin adalah masyarakat yang berkeadilan yang merupakan salah satu agenda pengajaran dan perjuangan Yesus. Kepada orang kaya, yang sering datang dari praktik ketidakadilan, Dia katakan “Juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang- orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga….” (Matius 18:22).

Yesus tahu bahwa akar utama kemiskinan adalah korupsi dan manipulasi yang merajalela pada semua lapisan masyarakat, terutama pada birokrasi yang berpusat di Bait Allah, Yerusalem. Dengan berani Yesus melakukan demo besar-besaran, untuk mereformasi Bait Allah. Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari halaman Bait Allah. Dia menyerang jantung kekuasaan yang ada pada waktu itu. Bait Allah pada waktu itu adalah kantor Imam Besar (eksekutif) Kantor Sanhedrin (legislatif), pusat peradilan (yudikatif), Bank Sentral yang sudah dijadikan sebagai “sarang penyamun”.

Politik Moral

Tugas agama-agama adalah melakukan politik agama, bukan politisasi agama. Politik agama adalah politik kenabian (prophetic politics) bukan politik partisan (partisan politics). Politik agama adalah politik moral yang mengeluarkan suara kenabian termasuk melakukan kritik kepada pemerintah dan pejabat publik yang berkuasa, yang tidak menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab.

Dalam Alkitab dikatakan, bahwa ketika Raja-raja dan penguasa menelantarkan rakyat, tidak membela nasib orang miskin, yatim-piatu dan janda-janda, maka nabi-nabi muncul dan mengkritik pemerintah yang korup itu. Politik kenabian atau gerakan moral agama adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat. Gerakan kebangkitan (kebangunan) spiritual selalu bersamaan dengan gerakan menegakkan keadilan social (social justice movements).

Sedangkan gerakan politisasi agama adalah politik partisan, yang dilakukan dengan mengeksploitasi agama, menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik. Sejarah mencatat bahwa apabila agama mengambil alih kekuasaan negara, maka yang terjadi bukan proses demokratisasi dan penghargaan hak-hak asasi, tetapi justru pemerintah yang tirani yang tidak menghargai prinsip-prinsip toleransi. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan “teokrasi” demikian tidak bertahan lama.

Gereja di Eropa pada abad-abad pertengahan pernah melakukan hal yang sama, mengambil- alih kekuasaan negara. Tetapi, yang terjadi adalah perang dan aniaya mewarnai sejarah Eropa.

Ketidakadilan Sosial

Setelah 100 tahun Indonesia bangkit, apa yang terjadi? Di satu sisi Indonesia berhasil menjadi sebuah negara demokrasi. Tetapi, di tengah kesuksesan Indonesia menjadi negara demokrasi, kemiskinan masih belum teratasi. Kebodohan dan keterbelakangan masih sebuah tragedi. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ada ketidakadilan sosial yang tinggi. Korupsi dan manipulasi terjadi hampir di semua lini. Penegakan hukum dilakukan dengan tebang pilih.

Dalam kondisi yang separah itu, mesin politik pemerintah seharusnya bekerja untuk menjalankan tugasnya. Tugas utama pemerintah, sesuai konstitusi, ada tiga. Pertama, menjamin rasa aman bagi segenap warga bangsa. Kedua, menjamin tersedianya kebutuhan sehari-hari seluruh manusia Indonesia. Ketiga, menyediakan fasilitas pendidikan dalam rangka mencerdaskan bangsa.

Kalau yang tiga ini sudah di-capai maka kita dapat melaksanakan tugas menciptakan damai dalam hubungan internasional. Tetapi, kalau ketiga tujuan di atas gagal, para diplomat kita di luar negeri pasti tak bergengsi.

Ternyata pemerintah seakan-akan belum punya “gigi”. Ini bisa karena sistem politik yang salah atau pemerintah kurang berani. Apapun alasannya tesis di atas tetap berlaku. Kalau politik gagal maka agama muncul. Kalau agama muncul menyuarakan suara nabiah dan kritik itu bagus. Tetapi, kecenderungan yang terjadi adalah politisasi agama.

Gerakan politisasi agama ini sedang laku keras. Politisasi agama sangat berpotensi menciptakan polarisasi dan perpecahan bangsa.

Yang paling parah adalah gerakan ikut-ikutan sekelompok warga gereja. Mereka mendirikan partai-partai yang berlabel atau berbasis agama Kristen. Mereka pasti akan melakukan manipulasi politik demi mobilisasi politik yang memang biasa dalam sebuah partai politik untuk mencari dukungan pemilih.

Di tengah-tengah menguatnya kecenderungan politisasi agama dengan munculnya partai-partai politik berbasis agama, maka perlu ditegaskan suara nabiah (prophetic voices) bahwa kecenderungan politisasi agama itu tidak sejalan dengan politik Yesus.

Politik Yesus adalah politik kenabian, politik moral yang melakukan gerakan moral agama untuk memperbaiki masyarakat. Yesus tidak pernah melakukan politik praktis untuk merebut kekuasaan. Yang dilakukan Yesus adalah membangun landasan moral kekuasaan baik melalui pengajaran maupun melalui tindakan.

Politisasi agama juga tidak sesuai dengan semangat kebangkitan nasional, semangat Sumpah Pemuda, cita-cita kemerdekaan dan perjuangan reformasi. Indonesia adalah sebuah negara Pancasila, bukan sekuler, dan bukan teokrasi, tetapi negara yang majemuk yang menghargai toleransi dan menjunjung hak-hak asasi.

Penulis adalah Sekretaris Umum PGI

Last modified: 14/6/08

Exit mobile version