Editorial: Politik dan Wajah Perjuangan Bangsa Papua

Antara Politik "Buru-Pungut" dengan Politik "Tanam-Pungut/Tuai"
Papua Barat penuh dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Demikian juga dengan bahasa, budaya dan tradisinya begitu kaya-raya. Penduduk yang jumlahnya tidak mencapai 2 juta itu mendiami luas wilayah 3 kali Pulau Jawa. Dari sekitar 2 juta itu memiliki sekitar 250 suku dan bahasa yang berbeda. Dibandingkan dengan Jawa, perbedaan yang sangat menonjol hanyalah antara Jawa, Madura dan Sunda, sementara hampir seantero pulau berbahasa-budaya satu dan sama saja. Lebih meluas lagi, kalau kita menyebarang ke Pula sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta Bali, maka bahasa dan budaya mereka hampir sama saja. Memang mereka semua bertutur bahasa Melayusoid.

Berbeda halnya dengan bangsa Papua, yang beretnis Melanesia, tetapi dengan jumlah yang sedikit tetapi memilik keragaman budaya yang begitu tajam. Secara garis besar sering ada kategorisasi Pantura, Pantai Selatan, Pesisir dan Pegunungan. Sementara Belanda membaginya ke dalam tujuh Kelompok Masyarakat Hukum Adat, atau masyarakat berdasarkan kemiripan dan perbedaan yang dimiliki dari sisi seni, budaya, tradisi dan bahasa.

Persamaan yang hampir merata di antara orang Melayu ini memberikan warna politik yang memang sama di antara mereka. Hampir tidak kelihatan perbedaan, apalagi tidak ada peluang kemunculan pertentangan di antara mereka. Semua seia-sekata, senasib-sepenanggungan, sepaham-sejalur, searah-seirama.

Wajah politik di Papua Barat tidaklah demikian. Sama halnya dengan perbedaan budaya dan bentangan luas wilayah yang begitu besar, demikianlah politik yang dimainkan antara satu dengan yang lain begitu berbeda, dan jurang perbedaan itu nampaknya membentang luas, hampir sulit dibayangkan di mana titik temunya.

Memang sejak Papua Barat dan bangsa Papua terlibat dalam politik masyarakat modern, kita membawa serta perangai dan tabiat kita dalam tradisi dan budaya masing-masing. Tradisi berburu dan memungut, tradisi berkebun, bercocok dan menuai, serta tradisi mengail dan memanen, tradisi menokok dan mengkonsumsi, semua ini mewarnai politik bangsa Papua.

Suku-suku di Papua Barat yang berangkat dari tradisi bercocok tanam memiliki filsafat politik, pendekatan, dan strategi perjuangan yang begitu berbeda daripada yang dimiliki orang Papua di pesisir. Perbedaan ini saya beri julukan "Politik BUru-Pungut" dan "Politik Tanam-Panen"

Politik Tanam-Panen memiliki ciri nampak sangat perlahan dan sangat diam. Ada filsafat berkebun di situ: "Sebelum Anda mengundang teman dan tetangga untuk membantu Anda berkebun, Anda harus membuat pagar sekeliling kebun itu, entah sebesar apapun atau sekecil apapun juga. Anda harus membabat rumput sekeliling pagar itu, seluas satu atau dua meter besarnya mengelilingi pagar kebun baru dimaksud. Pada saat Anda menyelesaikan pagar dan pembersihan rumput itu, orang akan tahu bahwa Anda akan mengundang sesama untuk bergotong-royong. Pada saat si pemilik kebun itu memulai bekerja ia tak pernah nampak di pasar, di pertandingan-pertandingan, bahkan dalam rapat-rapat dan berbagai pestapun ia mengurung dirinya. Yang jelas ia tak bisa meninggalkan kebun yang barusan ia mulai. Ia memulai berkebun sebelum matahari terbit, dan pulang setelah matahari terbenam. Bahkan orang serumahpun jarang melihat wajahnya, apalagi berbicara dengannya. Sebegitu ia tahu pagar dan pembersihan rumput itu mencapai sekitar 80%, maka suaranya akan kedengaran, walaupun wajahnya tidak kelihatan. Honai Adat memonitornya, bahwa sang pemilik kebun sudah bersuara dan kedengaran suaranya dari Honai Lelaki, berarti sudah mendekati waktu mengeluarkan undangan." Begitu dan seterusnya.

Kita bandingkan tradisi ini dengan apa yang terjadi di pesisir. Memang alam Papua ini begitu kaya-raya, dan sang pencipta begitu bermurah hati kepada mereka. Danau, Laut, sungai, hutan, semuanya dipenuhi dengan makanan, lauk dan minuman. Manusia hampir tak perlu berkeringan sedikitpun, kecuali berkeringat disaat memungut, mengolah dan memakannya. Cerita sang Penanam atau Pekebun tadi baru kita mulai pada tahapan pertama, tetapi ceritanya sudah panjang sekali, apalagi waktunya dari ia mulai kebun barunya sampai ia mengundang sesamanya, sampai kebunnya dibakar, sampai dibersihkan, sampai ditanam, sampai, dan sampai dan sampai. Belum lagi hasil kebun itu harus dipanen dan dibawa pulang, dalam jarak yang begitu jauhnya.

Mentalitas dan/atau tradisi "buru-pungut" dan "tanam-panen" ini sangat mewarnai politik bangsa Papua, entah politik di dalam NKRI maupun politik Papua Merdeka.

Ada politisi Papua yang kesehariannya hanya melakukan kleim-kleim dan kleim saja. Ada politisi atau aktivis yang tidak pernah sama sekali berbisik, jangankan bersuara ataupun mengkleim ini dan itu. Ia berkelana di rimba dan lautan Politik bangsa Papua dan begitu ia melihat ikan, ia tinggal mengail/ memancing, tanpa pernah tanya siapa yang punya ikan itu, atau siapa yang memberinya makan, atau siapa yang memberinya hak untuk memiliki ikan itu dan seterusnya. Ia tinggal berkeliling hutan sagu dan menghitung pohon sagu mana yang sudah waktunya ditebang. Ia tinggal berkeliling bersama anjingnya untuk mencar kalau ada binantang di hutan yang tidak pernah ia beri makan, yang tidak pernah ia tanam itu untuk dipanennya.

Politisi ‘buruh-pungut’ jarang sekali mengeluarkan anggaran waktu, tenaga, uang dan keringat. Mereka menunggu sambil bercerita mob atau bergurau atau bermesrahan bersama pasangan hidupnya. Sampai pada detik ada posisi dan jabatan, ada duit dan kenikmatan, ada kedudukan dan keramaian, ia meloncat sama seperti gerakan orang saat ikan sudah ketahuan memakan umpan, pada saat ketahuan jerat sudah terkena, saat anjing sudah menggongong pertanda ada mangsa. Iapun tidak mengejar babi hutan itu, ia hanya berteriak sekeras mungkin sambil merokok dan makan pinang. Sementara anjingnya jatuh-bangun, sampai pertaruhkan nyawanya mengejar binantang buruan itu, seakan-akan dialah yang nantinya akan menjadi tuan dalam membagi hasil buruannya itu.

Kita kembali kepada proses pembuatan kebun tadi sedikit. Setelah suara-suara mulai kedengaran dari honai lelaki, sesekali ia akan muncul dan secara terbuka memberi salam atau mengajak berbicara dengan sesama, tak bersembunyi lagi, tak diam lagi. Tindakan seperti ini sudah menandakan saatnya mengundang orang lain. Jadi, undangan hanya keluar, dan si pemilik kebunpun hanya muncul, SETELAH ia tahu proses pembuatan pagar sudah tuntas seratus persen, dan pembabatan rumput sekeliling pagar seluas satu-dua meter itupun sudah tuntas-beres. Maka ada Kepala Kebun akan mengambil-alih tugas dan peran mengeluarkan undangan, mengundang tetangga dan sesama, sekampung ataupun kampung sesama. Kepala Kebun-lah yang akan bertindak sebagai yang mengundang, yang beracara dan yang menjamu para pekerja. Si Pemilik kebun sama sekali tidak akan dikenal, dilihatpun tidak. Ia akan duduk dan bekerja bersama dengan para tamu, ia akan menjadi tamu dan undangan dalam peristiwa itu.

Kita sampai di sini dulu.

Dalam politik bangsa Papua memang kedua perbedaan ini sangat kental dan begitu nampak. Ada pejuang dan politisi yang merasa benar dan tidak berdosa kalau ia hanya duduk berteriak, duduk memerintah dan duduk mengkleim lalu menikmati hasil kleim-kleimnya, hasil buruh-pungutnya. Kalau ada pihak yang membantah kleimnya itu, ia akan seperti cacing kebakaran, akan memberontak dan bahkan mengancam. Ada politisi dan aktivis bangsa Papua yang sama sekali tidak dikenal, tidak pernah bersuara, jangankan dilihat, apalagi mengkleim apapun dari segala yang telah terjadi dan diperbuatnya, tidak pernah menuntut siapapun, tetapi ia menjadi buta dan tuli, menjadi kotor dan tak tahu apa-apa. Memang begitu karena ia tidak mengejar kedudukan, bukan untuk kenikmatan pribadi dan keluarga, bahkan keluarganya dan bahkan nyawanyapun sudah dipertaruhkan

Yang menjadi masalah dalam politik bangsa Papua adalah kleim-kleim yang dilakukan di antara bangsa Papua itu bukan kleim dalam hubungan bangsa Papua – NKRI, tetapi dalam batas sangat sempit dan picik, ditambah licik. Dan tindakan-tindakan itu hanya dilakukan untuk kepentingan yang tidak jelas, untuk kepentingan perut dan nama sendiri dan keluarganya. Keluarganyapun hanya isteri dan anaknya, tidak termasuk orang tua. Apalagi suku dan bangsa.

Begitu zaman berlalu, begitu asimilasi dan similarisasi antara pegunungan dan pesisir, Melayu dan Melanesia, modern dan Masyarakat Adat dan tatanan sosial lainnya terus berinteraksi, maka sebenarnya pada saat ini perbedaan Politik "Buruh-Pungut" dan "Tanam-Panen" itu tidak bisa langsung kita petakan menurut asal-usul seorang Papua. Kini kedua wajah politik ini mewajahi segenap bangsa Papua, di gunung dan di lembang, di pedalaman dan perkotaan, di dalam dan di luar negeri, di perkampungan dan di hutan-rimba. Ada lima Bupati Pegunungan Papua yang mau membentuk Provinsi Papua, tanpa pernah berpikir dampak daripada perbuatan mereka terhadap anak-cucunya, terhadap suku-bangsanya, paling tidak dalam jangka waktu 15 tahun saja, karena jelas paling maksimal mereka dapat mejadi Gubernur 10 tahun saja, itu bukan jabatan warisan moyang, apalagi itu bukan jabatan bangsa Papua. Mengapa orang yang moyangnya "Tanam-Tuai" itu mengkopi tradisi buru-pungut? Ada juga Bupati dan pejabat negara neokoloni Indonesia yang berasal dari pesisir, yang punya dedikasi, pengorbanan dan pelayanan yang tanpa pamrih. Mereka melihat ke sepuluh sampai seratus tahun kedepan, untuk melihat hasil dari apa yang mereka kerjakan hari ini.

Diplomasi, Politik Tradisi Buru-Pungut dan Tradisi Tanam-Pungut

Menurut saya, politik adalah bagaimana mengelola kepentingan dan golongan dengan cara mengelola dan memanfaatkan kepentingan-kepentintangan pihak lain yang ada yang dapat mereka raih, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Itu sebabnya "Politics is the process by which groups of people make decisions" (Wikipedia, The Free Enclyclopedia). Sekelompok orang membuat keputusan atas dasar kepentingan mereka, dengan seolah-olah mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama. Ada perhitungan ekonomis di situ, memanfaatkan kepentingan bersama sekecil-mungkin untuk kepentingan pribadi dan golongan sebesar-besarnya. Makanya politik disebut kemungkinan-kemungkinan yang bisa, bukan yang tidak bisa. Entah bisa apa, terserah kepadanya.

Politik bersifat memanfaatkan potensi yang ada. Memang ada berbagai upaya kaderisasi, ideologisasi dan seterusnya, tetapi pada saat permainan itu dimulai, politik tidak lebih daripada mempertaruhkan kepentingan-kepentingan, untuk kepentingan-kepentingan masing-masing pihak. Tentus saja yang berlaku di sini adalah hukum rimba: Siapa yang kuat dialah yang menang. Itulah demokrasi, bukan? Pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, tetapi dari rakyat mayoritas untuk kepentingan minoritas yang berpolitik (berkuasa).

Kalau kita kaitkan dengan kedua tradisi bangsa Papua yang merasuk ke dalam politik bangsa Papua tadi, maka secara prinsipil kedua potensi ini dapat dimanfaatkan dengan optimal demi kepentingan bangsa Papua. Yang satu bisa dimanfaatkan untuk memainkan politik, dan yang lainnya untuk menggarap politik itu, yang satunya menunggu dan berteriak, yang lainnya membuat pagar dan membersihkan rumput, yang satunya tinggal menunggu untuk mengkleim dan yang lainnya bekerja tapi tidak mengkleim. Toh keduanya sama-sama sebangsa-setanah air.

Antara Politik "Buru-Pungut" dengan Politik "Tanam-Pungut/Tuai" Memang diplomasi lebih pas kalau dioperasikan oleh bangsa Papua dengan tradisi atau mentalitas buru-pungut. Tetapi untuk urusan politik sepertinya lebih pas dieksekusi para politisi "tanam-pungut." Yang terjadi sekarang para diplomat dan politisi tidak bisa kita bedakan, antara lobbyist dengan aktivs, antara politisi dan tentara revolusi, antara aktivis dengan aktor intelektual, antara tokoh dan figur, semuanya kita buat campur-aduk. Barangkali kita semua memungut budaya makan pinang: campur kapur, campur sirih, campur pinang, campur ludah dan gigi bersama mulut mengolah semuanya. Atau mungkin ilmu Papeda, air mentah dan sagu bercamur di tempat penokokan, lalu air panas dan sagu kembali lagi berjumpa di loyang. Lagi-lagi air dan papeda bertemu di piring. Dan lagi-lagi air dan papeda bertemu di perut. Aduh, lagi-lagi mereka bertemu saat berpisah, pada akhirnya. Dari Niew Guinea Raad Sampai Koalisi Nasional untuk Pembebasan Sekarang bangsa Papua disuguhkan dengan sebuah lembaga bernama Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat, sebuah koalisi yang katanya dibentuk oleh lebih dari 20 organisasi politik. Siapakah organisasi politik yang jumlahnya 20 itu? Di mana kampung dan kantor mereka? Di mana sarang dan tempat mandi mereka? Apakah mereka pungut nama apa saja yang bisa dipungut sepanjang mengembara di hutan perjuangan ini? Ia menyusul PDP yang lagi-lagi membantah pernah ada OPM dan TPN yang puluhan tahun berjasa membela identitas dan aspirasi bangsa Papua. TPN/OPM hanya dijadikannya sebagai pilar. Sementara itu West Papua National Authority, entah dari mana otoritas nasional itu berasal, mengkleim sebagai yang punya otoritas. Sejauh mana otoritasnya? Siapa yang tunduk kepada otoritas itu? Dari New Guinea Raad sampai Koalisi Nasional, bangsa Papua pantas disebut orang ‘panas-panas tahi ayam", sebentar menyala sebentar lagi padam. Sebentar mengamuk, tak lama lagi mencium. Tak lama mencaci, tak lama pula menjilat. Memang selama ini para politisi "tanam-pungut" terus saja bekerja, tanpa mengkleim, tanpa memperkenalkan diri, tanpa dan tanpa, bahkan dengan mengorbankan nyawa dan nasibnya, sekali lagi tanpa. Mereka menempatkan nasib bangsa lebih di atas daripada nasib hidup pribadi dan keluarganya. Tetapi ada pula orang Papua yang berjuang di dalam hati, yang berdoa merupakan patok kerja yang Tuhan sudah berikan, jadi tidak apa-apa mereka tinggal berdoa saja. Tetapi saat mendadak ada teriakan "Papua Merdeka!" semua bangkit mengkleim, dengan berbagai macam dan bentuk kleim. Orang yang berjuang di dalam hati ini tidak mau menolak kalau ditawari jabatan, duit atau kenikmatan. Merekapun menerimanya, dengan alasan, "Ah, masih ada lain yang sedang berjuang, saya hanya berjuang dalam hati." Sementara itu, ada politisi yang terbang seantero dunia, mengaku diri mulai dari Kepala Suku, Kepala Bidang, Koordinator, Pemimpin, Panglima, Panglima Tertinggi, sampai Presiden. Rapat-rapat juga ramai diselenggarakan, mulai dari rapat solidaritas, musyawarah, kongres, Konferensi, dan kini Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Siapa yang tinggi dan siapa yang rendah? Siapa yang meninggikan dan ditinggikan? Dari mana ketinggian itu berasal? Boleh saja sang Kepala Kebun beracara. Tetapi ia selalu tahu jawaban atas pertanyaan: "Mengapa kebun itu sudah terpagar dan sebagian rumputnya sudah terlebih dahulu dibersihkan?" Tetapi pertanyaan ini tak pernah ditanyakan politisi bangsa Papua, jangankan dijawab. Ada slogan-slogan: "West Papua Go International" malahan muncul tahun 2007, padahal West Papua sudah "Go International" sejak tahun 1963. Ada slogan KTT malahan muncul saat ini. Terlepas dari semuanya, barangkali langkah Koalisi ini perlu dipagari dan ditopang, karena ia jelas sejalan dengan langkah para Panglima Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB), yang melalui Kongres pertamanya di hutan rimba Papua pada November – Desember 2006 telah membuat keputusan-keputusan dan mengeluarkan resolusi yang sangat penting buat perjuangan ini. Dari antaranya, salah satunya menyatakan Tentara Revolusi memisahan diri secara struktural organisatoris dari OPM, dengan maksud memberikan peluang dan keleluasaan sebesar-besarnya bagi OPM sebagai sayap politik perjuangan bangsa Papua untuk melakukan lobi-lobi politik dalam hubungan nasional dan internasional. Barangkali sang pemilik kebun tahu apa langkah berikut dari pagar itu. Dan nampkanya itulah yang terwujud saat ini. OPM harus terlepas dan dilepaskan dari sangkar, agar saat ia berbicara tidak dilihat sebagai tangan berlimpahan darah, orang militer yang berpolitik. Akan tetapi, bangsa Papua haruslah waspada, karena wajah dan corak politik ‘buru-pungut’ dan ‘tanam-pungut’ sangat kental dan tidak akan pernah punah dari Bumi Cenderawasih. Kalau tidak dikelola, ia menjadi bumerang yang mematikan. Jika dimanfaatkan baik, ia menjadi senjata untuk berburu dan menuai hasil. Yang terpenting dari semua barangkali perlu ada kesadaran dari elit politik bangsa Papua, agar kleim-kleim yang dibuatnya tidak terhadap sesama bangsanya sendiri, tetapi lebih-lebih diarahkan terhadap NKRI. Karena kemampuan mengkleim itu sangatlah positiv dan bermanfaat bagi bangsa ini. Demikian pula, para pekebun-pemungut janganlah lelah berkebun, menanam, nenyiangi dan memeliharanya dengan tekun. Tak perduli apakah Anda secara pribadi memanennya, tidaklah pusing Anda disebut di mana oleh siapapun atau tidak. Yang jelas kebun itu milih bangsa Papua. Yang penting Tanah dan Moyangmu mengenal Anda, namamu akan dicatat dengan tinta merah dihatinurani bangsamu, sampai selama-lamanya, lamanya tidak sama dengan kaum Papindo yang menjadi kepentingan sesaat, kaum pejuang yan mencari nama sejenak, yang berteriak seolah-olah. [BERSAMBUNG]

Exit mobile version