Para Aktivis Gerakan Papua Merdeka yang Kembali ke Pangkuan NKRI

Beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) memilih kembali ke kampung halaman sebagai WNI. Mereka ingin membangun tanah Papua dalam kerangka otonomi khusus.

SEJAK 1969 Nick Messet mencoba berjuang untuk sebuah negara Papua yang merdeka. Karena pilihannya itu, dia kehilangan identitas sebagai warga negara Indonesia (WNI). Namun, setelah puluhan tahun berjuang, Messet sadar bahwa memerdekakan provinsi yang dulu bernama Irian Jaya itu bukan hal gampang.

Messet lahir di Kampung Keder, Kabupaten Sarmi, Papua, 1946, dari keluarga yang cukup terhormat. Ayahnya, Thontje Messet, pernah menjadi bupati Jayapura (1975 – 1982). Dia putra Papua yang cerdas. Usai meraih gelar sarjana muda arsitektur di ITB, Messet pulang ke Papua. Dia dijanjikan bisa kuliah di Amerika. Namun, rencana itu dibatalkan pemerintah tanpa alasan yang jelas.

"Saya lalu berpikir kalau kita tinggal dengan bangsa yang jahat (Republik Indonesia, Red) akan sangat berbahaya," katanya kepada Cenderawasih Post (Grup Jawa Pos).

Pada 1966, Messet lalu meminta restu ayahnya untuk sekolah pilot di Sekolah Penerbangan NASA (Nationwide Aviation Space Academy) di Australia dan lolos menjadi penerbang. "Kenapa saya ingin menjadi pilot? Karena saya mau buktikan bahwa kita orang Papua pintar-pintar," katanya.

Pulang dari Negeri Kanguru, dia menjadi aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jabatannya: pejabat penghubung (liaison officer) antara para pejuang OPM dan Papua Nugini (PNG).

Dengan lisensi penerbang yang dipunyainya, Messet diterima bekerja sebagai pilot maskapai penerbangan PNG (Air Nugini). Tapi, perjuangannya terus dilakukan. Selama 10 tahun di PNG, dia banyak menyelundupkan tokoh OPM ke PNG. Karena kegiatan itu, dia ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah PNG. Untungnya, dia menerima suaka dan sejak 1979 tinggal di Swedia.

Meski hanya berbekal semangat, di Swedia Messet terus berjuang. "Di Swedia, pengangguran seperti kita dijamin hidupnya oleh pemerintah," ujarnya.

Messet terus melakukan kampanye dan melakukan lobi-lobi internasional untuk membantu kemerdekaan West Papua. Dalam lobi internasionalnya itu, Messet antara lain bertemu Yuri Andropov, pimpinan KGB, pada September 1982. Kepala Dinas Intelijen Uni Soviet (sekarang Rusia) itu, lanjut Messet, berjanji membantu kemerdekaan Papua dengan mengirimkan senjata melalui Vietnam. Tapi, rencana itu batal karena Tuhan punya rencana lain. Yuri keburu meninggal dunia.

Selain ke Uni Soviet, Messet juga menemui tokoh-tokoh penting di negara Pasifik seperti di Vanuatu dan Nauru.

Pada 1985 Messet diajak pemerintah Vanuatu untuk menjadi pilot di Air Vanuatu. Tawaran itu diterimanya. Jabatan itu dijalani hingga 1988. Ketika terjadi konflik di negara yang terletak di Pasifik itu, Messet ikut menjadi korban. "Saya kembali lagi ke Swedia hidup sebagai pengangguran," katanya.

Selama di Swedia, Messet sempat bertemu tokoh GAM Hasan Tiro dan seorang tokoh yang disebut Zainal. "Saya pernah bawa Zainal ke Rusia, tapi Yuri (Yuri Andropov) tidak mau bertemu dengan tokoh GAM," ujarnya.

Pada 1994, Messet kembali ke PNG yang saat itu dipimpin PM Julius Chan. Situasi politik di negara itu sudah berubah. Dia menghubungi rekannya, Franzalbert Joku, untuk menfasilitasi dirinya kembali ke tanah Papua melalui PNG.

Julius Chan menyambut positif kepulangan Messet ke Port Moresby, ibu kota PNG. Yang membuat dia bersyukur, Chan memerintahkan pencabutan surat deportasi. Di negeri itu, dia bergabung dengan Nation Air dan kembali bekerja sebagai pilot.

Pada 1997 secara kebetulan Messet bertemu Fredy Numberi yang saat itu gubernur Papua. Oleh Numberi, Messet mendapat tugas membantu urusan Papua di PNG. Namun, setelah Numberi diangkat menjadi menteri, Messet berhenti. Dia lalu ke Australia dan aktif kembali pada kegiatan politiknya.

Pada 2001 Papua kembali bergolak menyusul terbunuhnya Pimpinan Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hio Eluay. Dia terlibat aktif dalam berbagai lobi internasional untuk menekan pemerintah RI.

Namun, pada 11 Juli 2005 Messet kembali bertemu Fredy di Jakarta yang mengajak Messet bekerja di bidang perikanan. Ajakan yang sama disampaikan Gubernur Papua Barnabas Suebu saat bertemu dengannya setahun kemudian.

Messet mengatakan, dalam menyelesaikan masalah Papua, tokoh-tokoh Papua memiliki dua pandangan. Kalangan OPM seperti Zet Rumkorem dan Yacob Prai menginginkan masalah Papua diselesaikan melalui jalur konfrontasi militer. "Tapi, kami memilih cara dialog yang damai," ujarnya.

Masalah Papua terus menggelinding hingga menjadi perhatian intenasional. Namun, sejalan dengan itu, hati Messet juga terpanggil untuk kembali pulang. "Hati saya untuk pulang sebenarnya sudah ada ketika bertemu Pak Fredy," ujarnya.

Puncaknya, Messet meminta Fredy menjamin kepulangannya itu. Namun, dia tak bisa memberikan jaminan. Alasannya, hal seperti itu adalah isu yang sangat sensitif.

Lewat pendekatan melalui KBRI di Port Moresby kepada pemerintah pusat, Jakarta menyambut positif, tetapi tidak langsung mengiyakan. Suatu saat dia bertemu tokoh Sulsel Alwi Hamu yang mau mempertemukannya dengan Wapres Jusuf Kalla pada Juli 2007 lalu. Akhirnya keinginan itu terwujud. Pada akhir Februari lalu bukti identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia telah diberikan oleh utusan Wapres Jusuf Kalla.

"Saya melihat perubahan di Indonesia. Demokrasi sudah berkembang meski belum sempurna. Tapi, saya yakin akan terus tumbuh," katanya.

Selain itu, dengan Otsus Papua, dia melihat Papua semakin menunjukkan kemajuan. Messet ingin ikut membangun Papua melalui bidang lain. "Otsus adalah hasil perjuangan Papua Merdeka. Tanpa perjuangan Papua merdeka, Otsus tidak akan lahir," tandasnya.

Pelajaran lain yang dipetik dari perjuangan selama 40 tahun untuk Papua merdeka, kata Messet, adalah banyak negara yang berjanji membantu perjuangan OPM. "Itu hanya janji yang tak terwujud hingga detik ini."

Exit mobile version