TPN/OPM Perwakilan di Vanimo Minta Dialog

JAYAPURA- Perwakilan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di Vanimo, Papua New Guine (PNG) minta dialog dengan DAP, Ketua DPRP John Ibo dan Ketua MRP Agus Alua serta Gubernur Papua Barnabas Suebu.

Hal tersebut terungkap dalam dialog antara Perwakilan TPN/OPM Markas Victoria di PNG dengan para tokoh agama, masyarakat, BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa) dan Kontras di Aula Makorem 172/PWY, Sabtu (19/4).

Pertemuan Sabtu (19/4) itu, merupakan pertemuan kedua atau lanjutan dari pertemuan pertama yang digelar 24 Maret lalu di Korem dan dihadiri 7 orang tokoh TPN/OPM termasuk Jor Kogoya dan Alex Mebri. Hasil pertemuan tersebut, pada prinsipnya mereka menyambut baik apa yang sudah dilakukan Pemprov Papua terbaik dengan pembangunan yang dilakukan.

Namun begitu, dalam uneg-unegnya itu, mereka tetap menuntut kemerdekaan West Papua atau Republik Papua Barat. Tuntutan mereka itu sudah merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu, berdasarkan pandangan dari sudut perjuangan dan sejarah di Papua yang dianggap keliru oleh mereka.

Selain itu, tuntutan merdeka yang diperjuangkan mereka itu akibat ketidaktahuan situasi dan kondisi pembangunan serta sistem pemerintahan yang berlaku di Provinsi Papua pasca diberlakukannya Otonomi Khusus. Sebab, mereka bergabung dengan TPN, sebelum diberlakukannya UU Otsus.

Selama ini, mereka membandingkan bahwa PNG tidak lebih maju dari Papua karena sistem pemerintahannya yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, sedangkan di Indonesia adalah sebuah Negara Republik yang dipimpin oleh seorang Presiden.

Seperti dikatakan Yor Kogoya, sekarang ini orang Papua banyak menipu rakyat termasuk dirinya yang berjuang di hutan dengan alasan dan mengatasnamakan OPM. Mereka banyak bepergian ke Jakarta dan Luar Negeri dengan alasan untuk kepentingan perjuangan TPN/OPM.

” Kami harus mencari kejelasan pihak-pihak yang memanfaatkan kami. Ini hanya bisa dilakukan dengan pertemuan yang lebih besar dengan melibatkan Gubernur, John Ibo dan Agus Alua, agar tidak ada anggapan bahwa pejabat pemerintah yang telah memanfaatkan kami,” ujarnya.

Tidak jauh beda dikatakan Alex Mebri. Mereka menilai selama ini para pejabat daerah tidak pernah memperhatikan mereka atau mendekati mereka untuk diajak dialog. Selama ini yang selalu mendekati adalah TNI saja.

” Seharusnya pejabat daerah seperti John Ibo yang harus mendekati kami, karena mereka inilah yang memegang otonomi. Dari tahun 1961 sampai saat ini kami OPM yang paling banyak berjuang dan banyak jatuh korban. Makanya kami inilah yang harus menuntut bagaimana penyelesaiannya,” jelasnya.

Menurutnya, pihaknya mau kembali ke NKRI, tapi dengan catatan masalahnya harus dituntaskan dulu. Jika lembaga yang ada di Papua tidak bisa menyelesaikan masalahnya, dirinya minta para pejabat di daerah jangan membuat rakyat Papua sengsara, karena OPM ada dibarisan depan rakyat Papua.

Dialog yang berlangsung empat jam mulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 18.00 WIT, sempat tegang. Dua tokoh masyarakat dan Agama Papua, Ramses Wally dan Pendeta Alexander Maury sempat ditentang Jos Kogoya. Dia menilai, kedua tokoh tersebut ikut menipu rakyat.

Kejadian itu bermula saat Jos Kogoya dan Prissila Takadewa mempertanyakan Pepera yang tidak dilakukan one man one vote ( satu orang saty suara). Mereka menilai, Pepera merupakan paksaan dan tidak sah, karena tidak melibatkan seluruh rakyat Papua.

Nah, disaat Rames Wally dan Pendeta Alex Mebri mengatakan bahwa dalam pemerintahan adat tidak ada mengenal one man one Vote, tapi setiap masalah diputuskan dalam musyawarah di para-para adat, saat itulah Jor Kogoya dengan lantang mengatakan ” kamu yang tipu” kami.

Namun, saat diberikan penjelasan secara gamblang secara berulang-ulang, dari pendeta Servara yang juga mantan TPN/OPM, akhirnya mereka memahami. Pada prinsipnya mereka mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak mengerti dan memahami sejarah Pepera, Resolusi PBB no 2504 dan New York Aggrement. Apa yang didapat selama ini mengenai Pepera, hanya diperoleh atau berdasarkan cerita dari orang tuanya yang sudah puluhan tahunan berjuang menunut merdeka di hutan.
Dalam kesempatan ini, Jor Kogoya kembali menegaskan, untuk minta dialog dengan DPRP, MRP, DAP termasuk minta dihadirkannya Frans Yoku dan Nicolas Messet. Sebab, pihak-pihak ini dianggap ikut menipu rakyat, bahkan dirinya termasuk orang yang dijadikan alat/objek untuk kepentingan mereka.

“Mereka ini yang selalu menghasut rakyat untuk minta referendum, hingga kami yang menjadi korban. Mereka harus ikut bertanggungjawan karena telah menipu kami. Jika Otsus merupakan langkah baik untuk mensejahterakan rakyat, mengapa kami tidak diberi pemahaman yang baik. Otsus itu untuk siapa, saya tidak tahu,”paparnya.
Meski apa yang diperjuangkannya selama ini salah dan sia-sia, dirinya bersama anggotanya belum bisa memutuskan untuk kembali ke NKRI, dan masih tetap berjuang untuk kemerdekaan Republik Papua.

Alasannya, organisasi TPN/OPM bukan hanya dirinya, tapi ada di berbagai daerah. Sehingga untuk memutuskannya, terlebih dahulu harus ada pertemuan antara semua kekuatan TPN/OPM. ” Kami dan anggota saya tidak bisa putuskan apakah saya harus kembali ke NKRI atau tetap berjuang. Sebab, kami ini hanya Perwakilan, bukan markas pusat,” tandasnya.

Di tempat yang sama Danrem 172/PWY Kolonel Kav Burhanuddin Siagian mengatakan, pihaknya menfasilitasi pertemuan antara tokoh-tokoh TPN/OPM dengan tokoh-tokoh masyarakat, adat, agama dan Kontras itu, karena TPN/OPM itu bukankah musuh TNI, melainkan bagian dari saudara-saudara sebangsa yang belum sepaham dengan saudara-saudara lain.

” Tugas kami adalah menyadarkan mereka agar bisa sepaham dan sepandangan dengan kita. Mereka juga harus diberikan pemahaman yang benar bahwa apa yang diperjuangkannya selama ini salah dan sia-sia. Sebab, sampai kapan pun yang namanya minta merdeka tidak akan dikasih,” tegasnya.

Danrem menambahkan, sebenarnya mereka ini hanyalah korban dari hasutan pihak-pihak tertentu yang membuat mereka masih tetap berjuang di hutan-hutan. Contohnya, soal Pepera. Sesuai pemahaman yang mereka terima, seolah-olah pepera itu merupakan rekayasa Indonesia untuk menjajah Papua.

Buktinya, setelah mereka diberikan pemahaman yang baik dan benar, mereka baru tahu dan sadar bahwa selama ini mereka hanya korban penipuan dan hasutan pihak-pihak tertentu.

Seperti diketahui, alam dialog yang difasilitasi Danrem 172/PWY Kolonel Kav Burhanudian Siagian, pihak TPN/OPM Perwakilan Vanimo PNG dihadiri 23 orang, diantaranya ‘Letkol’ Jor Kogoya ( Panglima Kodak Wilayah Bewani PNG), Alex Mebri Panglima TPN/OPM Mamta ( Mambramo dan Muara Tami), Welly Wenda ( penasehat Matias Wenda), Prisilah Takadewa, tokoh perempuan TPN/OPM pengibar bendera bintang kejora di Kantor Gubernur 1988, dan ‘Mayor’ Arnold Ab ( Danyon TPN/OPM wilayah Vanimo, PNG). Sementara, anggota lainnya yang hadir adalah TPN/OPM berpangkat ‘kapten’ dan ‘Mayor’ yang memiliki jabatan setingkat Kompi dan Pleton, bahkan empat diantara mereka adalah perempaun.

Sebelum dijemput anggota Korem dan pihak mediatior di daerah perbatasan, 23 anggota TPN/OPM tersebut harus berjalan selama sehari penuh dari Bewani, PNG untuk menuju perbatasan Wutung.

Awalnya, keinginannya untuk pergi ke perbatasan, sempat dihalang-halangi bahkan sempat dikejar-kejar oleh polisi PNG. Akhirnya, usahanya untuk pergi ke perbatasan berhasil setelah dibantu salah satu anggota polisi setempat.

Yang menarik dari mereka, tujuh anggota TPN/OPM tidak bisa berbahasa Indonesia, kecuali bahasa Inggris Fiji. Mereka tidak berbahasa Indonesia, karena mereka lahir di sana. Orang tua mereka ini adalah TPN/OPM yang melakukan pelarian ke PNG dan meninggal di sana. Untuk menyampaikan uneg-unegnya, mereka harus dibantu oleh Prisilah yang fasih berbahasa Fiji.

Exit mobile version