OPM Rame-rame Kembali ke Ibu Pertiwi

Anggota Organisasi Papua Merdeka (Dok. GATRA/Ida Palaloi)Otonomi khusus di Papua sedikit memperlihatkan tuah. Setidaknya, dua pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengakui hal itu. Mereka yakin, otonomi khusus yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia di Papua sudah memenuhi prinsip keadilan. Karena itu, dua tokoh bernama Nicholas M. Messet, yang disebut-sebut sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri OPM, menyatakan ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Medio pekan silam, seorang di antara mereka menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden. “Saya sudah kirim surat kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kembali sebagai WNI,” kata Nicholas, yang kini memegang kewarganegaraan Swedia.

“Otonomi khusus adalah pilihan terbaik bagi Papua,” kata Nicholas di hadapan pers. Pada saat ini, menurut dia, banyak anggota OPM di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI. Setidaknya, ia menyebut angka 1.000 orang yang menetap di Papua Nugini dan 20-30 orang di Belanda yang punya keinginan sama dengannya. Termasuk mantan petinggi OPM lainnya bernama Frans Albert Joku.

Pernyataan Nicholas itu segera saja menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh OPM di luar negeri. Setidaknya, dua pentolan organisasi itu buka suara. Menurut Moses Weror, tokoh OPM di Madang, Papua Nugini, setidaknya ada dua hal yang mesti diluruskan. Pertama, soal jabatan mantan wakil menteri luar negeri. “Dia hanya anggota di ring empat, yang status keanggotaannya masih diragukan. Dalam OPM juga tidak ada jabatan menteri luar negeri atau wakilnya. Yang ada hanya penghubung luar negeri di sejumlah negara,” katanya.

Selain itu, Moses juga mengungkapkan, baik Nicholas maupun Frans semula memang anggota OPM murni. Mereka sempat diberi posisi: Frans sebagai penghubung di Papua Nugini dan Nicholas menjadi anak buahnya. “Tapi mereka dipecat sejak tahun 2005 dan sudah ada penggantinya,” ujar Moses lagi tanpa menyebutkan nama penggantinya karena memang dirahasiakan. Itu hal kedua yang mesti diluruskan tentang ketokohan Nicholas dan Frans.

Menurut Moses, pemecatan itu dilakukan atas sejumlah pertimbangan. Para petinggi OPM menilai, sejak kematian Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001, sikap Nicholas dan Frans tampak berubah. Keduanya dinilai aktif mempengaruhi warga OPM kembali ke Papua dan mempromosikan keberhasilan konsep otonomi khusus untuk Papua. Sampai-sampai keduanya dicap sebagai susupan Pemerintah Indonesia. “Sebab, bagi kami, kemerdekaan Papua adalah harga mati,” kata Moses.

Penilaian senada diungkapkan John Otto Ondowame, petinggi OPM untuk Vanuatu. Berbicara dari Port Villa, ia menilai langkah yang ditempuh Nicholas tidak akan mempengaruhi perjuangan OPM. Sebab posisi Nicholas tidak berarti apa-apa bagi anggota OPM. “Benar, pada organisasi kami tidak ada jabatan menteri luar negeri. Yang ada hanya liaison officer, pejabat penghubung, untuk negara tempat tinggal aktivis kami,” kata John, yang juga sudah menjadi warga negara Swedia.

Nicholas yang akrab dengan nama sapaan Nick itu pun membantah semua tudingan. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan pengkhianat dan bukan pula orang susupan Pemerintah Indonesia. “Saya aktivis OPM murni, berjuang untuk Papua merdeka. Niat saya kembali menjadi WNI hanya karena sudah ada kemajuan serius setelah sekian lama saya tinggalkan Papua,” ujarnya.

Nick yang kini berusia 61 tahun itu menyatakan, kesediaannya kembali menjadi WNI terutama setelah melihat program otonomi khusus. “Saya melihat ada perubahan besar, kemajuan besar, yang dicapai rakyat Papua setelah pemberlakuan program otonomi khusus. Program itu, menurut saya, cukup berhasil,” ia menegaskan.

Nick yang kini berprofesi sebagai pilot di Papua Nugini itu lahir dan dibesarkan di kota kecil bernama Sarmi –kini sudah menjadi kabupaten sendiri. Ia berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Thontje Messet, tercatat enam tahun menjadi Bupati Jayapura (1976-1982). Tapi, sejak menginjak dewasa, ia memendam kekecewaan mendalam karena merasa diperlakukan tak adil.

Cita-citanya menjadi orang Papua pertama yang jadi pilot Indonesia kandas. Walhasil, pada 1969, ia kabur ke Papua Nugini dan meminta suaka di sana. Nick pun langsung mendapat beasiswa untuk mengikuti pendidikan pilot di Australia. Setamat sekolah pilot, ia memilih kewarganegaraan Swedia sambil aktif berkampanye untuk kemerdekaan Papua di mancanegara.

Kini, setelah mengutarakan niatnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Nick tentu masih harus melalui proses lagi. Menurut Menteri Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Andi Mattalatta, prosesnya tidak akan rumit karena dia bukanlah seorang terpidana. “Soal syaratnya, tentu tidak hanya proses administrasi, melainkan juga melihat semangat kejiwaannya terhadap negara kesatuan Republik Indonesia,” katanya kepada Anthony dari Gatra.

Namun lembaga yang dipimpin Andi itu tampaknya bakal kebanjiran permohonan repatriasi. Sebab, menurut R. Sandjaya, staf media dan informasi Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, setidaknya ada 200 warga di Papua Nugini yang ingin menjadi WNI lagi. “Jumlah mereka yang ingin repatriasi makin bertambah karena mereka menilai situasi Papua sudah membaik,” ujarnya kepada John Kristian Pakage dari Gatra.

Erwin Y. Salim dan Antonius Un Taolin
[Nasional, Gatra Nomor 46 Beredar 30 September 2007]

Exit mobile version