Satu LSM yang bernama Institute for Policy Studies (IPS) mengadakan diskusi Dinamika dan Masa Depan Papua di dalam NKRI pada 21 Juni 2007 di Jakarta. Dari judulnya yang maha luas itu bisa diduga bahwa di dalam diskusi itu orang boleh ngomong apa saja soal Papua, yang penting tetap ‘di dalam koridor NKRI’. Penyelenggara secara implisit mau bilang ke penguasa bahwa mereka pro-NKRI.
Kita bisa menduga arah diskusi ini juga dari pembicaranya. Ada mantan Dubes RI untuk PNG asal Papua, R.G. Jopari, yang dikenal kritis dan loyal kepada NKRI. Ada Ketua DPRD Provinsi Papua Barat (dulu Irian Jaya Barat), Jimmy Idjie, yang dikenal sebagai tokoh kunci pemekaran Irjabar dan dekat dengan BIN dan TNI. Ditambah lagi Direktur IPS yang dikenal dekat dengan bekas Danjen Kopassus Prabowo Subianto yakni Fadli Zon; dan anggota DPR RI asal Golkar, Yudhi Krisnandi.
Di antara peserta diskusinya, tidak tampak satu pun aktivis LSM Jakarta yang berkepentingan dengan masalah Papua semacam Kontras, YLBHI, Elsam, Pokja Papua, atau pun SNUP, hadir. Sebagian besar pesertanya merupakan wajah baru bagi saya yang selama ini berusaha selalu hadir dalam setiap diskusi tentang Papua. Sebagian lainnya adalah wajah-wajah yang selalu saya lihat di setiap diskusi Papua. Saya tidak pernah tahu asal institusi kelompok kedua ini.
Substansi yang dibicarakan jelas dari awal: bagaimana memperbaiki situasi di Papua dengan tetap berada di dalam koridor NKRI. Jopari dan Idjie dari sisi sejarah jelas menunjukkan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah sah dan final. Tuntutan kemerdekaan yang ada di Papua selama ini adalah produk rekayasa pemerintah kolonial Belanda. Krisnandi dan Zon juga bernada sama.
Menariknya, ketika bicara tentang kebijakan Jakarta terhadap Papua, korupsi dan pelanggaran HAM, Jopari dan Idjie sangat kritis. Ketajaman kritik mereka tidak jauh berbeda dengan aktivis LSM atau pun tokoh-tokoh intelektual Papua yang pro-otonomi atau pro-merdeka. Mengenai Otsus, mereka menggarisbawahi persoalan inkonsistensi akut kebijakan dan perilaku politik Pemerintah Pusat. Selain itu keberadaan UU No 32 juga dianggap mengebiri dan menghambat pelaksanaan UU Otsus.
Di akhir diskusi, nada pesimis sangat kuat di kalangan orang-orang pro-NKRI ini. Kelihatan bahwa orang-orang yang berada di ‘pihak yang kuat’ ini pun menyimpan kekecewaan dan skeptisisme yang mendalam terhadap Jakarta. Jopari dan Idjie sependapat bahwa NKRI harus dipertahankan namun sistem politik, perilaku elit, dan pola kebijakan yang berlangsung tidak mendukung kemungkinan perbaikan situasi di Papua.
Dulu Theys Eluay almarhum juga loyal terhadap NKRI seperti Jopari dan Idjie. Beberapa tahun sebelum dibunuh, dia berubah menjadi pemimpin pro-kemerdekaan. Banyak orang sejenis Theys bisa ditemukan dalam sejarah hubungan Papua-Jakarta. Mudah-mudahan Jopari dan Idjie tidak mengikuti jejak politik Theys…
UUD’45 RI DAN KOVENAN PBB MENGAKUI KEMERDEKAAN PAPUA BARAT
Mengakui dan mempertahankan hasil Pepera (plebisit/referendum) 1969 berdasarkan Resolusi PBB 2504 (November 1969) menyangkut Papua Barat (sekarang kedua provinsi Papua dan Papua Barat) sama saja dengan mengabsahkan atau menjustifikasi tindakan kriminal TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika 1.025 orang asli Papua dan non-asli Papua ditunjuk, dipelihara dan ditodong oleh TNI untuk menggiring Papua Barat pada tahun 1960an ke dalam genggaman NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Dr. John Saltford (sejarawan Inggris), Prof. Pieter Joost Drooglever (sejarawan Belanda), puluhan penulis (asing dan Papua) lainnya dan berbagai lembaga akademis telah melaporkan kebiadaban TNI sejak Papua Barat dicaplok atau dianeksasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dengan menunjukkan data praktek yang berlawanan dengan hukum internasional (termasuk hukum Indonesia sendiri) di dalam keseluruhan proses pencaplokan Papua Barat ke dalam genggaman NKRI.
Pada tahun 1969, enam tahun setelah tanggal aneksasi 1 Mei 1963, semacam referendum (peblisit) model Indonesia digelar di Papua Barat dengan dua opsi yaitu Merdeka atau NKRI. Referendum tersebut disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat Pepera) yang pada mulanya akan dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement (Perjanjian New York), yaitu suatu kesepakatan yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan status Papua Barat ke depan melalui sebuah referendum. Menurut kesepakatan awal, referendum tersebut akan dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang berlaku secara universal.
Kesalahan mendasar yang terjadi pada mulanya adalah, bahwa New York Agreement (Perjanjian New York) ditanda-tangani –secara sepihak– oleh Indonesia dan Belanda tanpa mengikut-sertakan rakyat Papua Barat melalui wakil-wakil mereka dari Dewan Papua (lembaga legislatif) yang telah resmi berdiri pada tanggal 5 April 1961. Kesalahan mendasar lainnya bahwa terminologi Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang tertuang di dalam New York Agreement dirubah terjemahannya oleh Indonesia menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Telegram-telegram tahun 1968 dan 1969 dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa AS mengetahui adanya upaya-upaya militer Indonesia untuk mencegah sebuah referendum atau plebisit dengan meminta Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) digelar sebagai versi militer dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat, Pepera).
Kesalahan mendasar berikutnya adalah, bahwa selama 6 tahun (sejak 1 Mei 1963) sebelum referendum yang disebut Pepera itu dilaksanakan pada tahun 1969, rakyat Papua bersama para pemimpin mereka diintimidasi, diisolasi bahkan dibunuh untuk melicinkan keseluruhan proses aneksasi sampai kepada pemenangan Pepera oleh Indonesia. Pepera’69 merupakan referendum model Indonesia yang praktis dilaksanakan tidak sesuai dengan standard universal yang mengharuskan satu orang satu suara (one person one vote) oleh semua orang dewasa sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 18 New York Agreement, tapi sebaliknya dilaksanakan berdasarkan sistem Indonesia yaitu musyawarah. Pepera’69 merupakan rekayasa Indonesia yang di dalam pelaksanaannya, rakyat Papua ditempatkan di depan moncong senjata dan di bawah tekanan sepatu lars TNI sehingga tidak bebas bergerak, tidak bebas melakukan rapat dan tidak bebas bersuara, padahal pasal 22 New York Agreement telah menjamin kebebasan itu.
Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua melaporkan untuk pertama kali secara terbuka pada Sidang Gereja Se-Dunia di Harare (Zimbabwe) pada tahun 1998 bahwa 100 ribu orang Papua telah meninggal dunia karena dihilangkan dan dieksekusi oleh TNI/Polri sejak 1 Mei 1963 karena mereka secara tegas dan terus menerus menentang penjajahan Indonesia di Papua Barat.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk:
1. Mengakui kesalahan sejarah sekaligus mengakui kebrutalan TNI/Polri di Papua Barat.
2. Mengembalikan status Papua Barat ke posisi 1962-1963 di mana Papua Barat (ketika itu disebut Nederlands Nieuw-Guinea) menjadi daerah yang – tidak berpemerintahan sendiri (non-self-governing territory) – dan berada di bawah pengawasan PBB ketika itu.
3. Mengakui Kovenan PBB Tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 1 ayat 1, bahwa: “Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya”.
4. Mengakui Mukadimah UUD’45 Republik Indonesia: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
5. Mengakui Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah resmi dideklarasikan oleh Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dengan ditetapkannya nama negara – Papua Barat, lagu kebangsaan – Hai Tanahku Papua dan bendera nasional – Kejora (Bintang Pagi). Sebuah negara yang walaupun belum memiliki pemerintah sendiri dan belum memperoleh pengakuan internasional tapi memiliki rakyat yang hidup turun-temurun di dalam sebuah wilayah yang garis batasnya jelas berdasarkan antropologi dan berdasarkan garis batas Indonesia dan Nederlands Nieuw-Guinea (sebelum 1 Mei 1961) dan sekarang berdasarkan garis batas antara kedua provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi Maluku.
Ke-5 usulan tersebut di atas ini merupakan solusi yang paling mendasar bagi penyelesaian akar permasalahan di Papua Barat. Ditolaknya ke-5 usulan ini sama saja dengan mempertahankan ketidak-adilan dan ketidak-damaian di Papua Barat. (ottis s. wakum, jakarta 16.08.2011)***