Megawati Diminta Datang Ke Papua

TEMPO Interaktif, Jakarta: Salah satu kepala suku di Papua, Negro Alpius Kogoya meminta Presiden Megawati Sukarnoputri bertemu langsung dengan masyarakat Papua untuk menjelaskan kebijakannya dalam surat instruksi presiden no.1 tahun 2003 dan Undang-Undang no.45 tahun 1999. Permintaan Kogoya disampaikan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis (11/9) sore.

Kogoya yang mengaku mewakili sejumlah kepala suku Papua hari ini mendatangi kantor lembaga bantuan hukum itu untuk mengadukan ketidakjelasan nasib masyarakatnya pasca rencana pemekaran propinsi Papua.

Kogoya menjelaskan, walaupun saat ini kondisi di Timika sudah berangsur normal, namun potensi konflik horinsontal masih ada. Pasalnya, kata dia, perpecahan antara kubu pro dan kontra pemekaran saat ini masih terus berlangsung. Kondisi itu makin diperparah oleh perbedaan pandangan di dalam masing-masing suku itu sendiri.

Kogoya yang tidak mengenakan pakaian tradisional Papua ketika ditemui wartawan, mengaku datang ke Jakarta, untuk menemui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. “Mereka harus tahu kondisi masyarakat di sana (Papua) saat ini,” katanya.

Kemarin, Kogoya sudah bertemu dengan anggota parlemen di Senayan. Menurutnya, anggota DPR berjanji akan membicarakan masalah Papua dengan pemerintah. Kogoya –yang datang ke Jakarta ditemani wakil Aliansi Mahasiswa Papua, Hans Ghebze– mengatakan sejak Februari silam sampai kini, masyarakat di desa-desa Papua sama sekali belum mengetahui keberadaan inpres percepatan pemekaran Papua itu. “Bupati mungkin tahu. Tapi, rakyat kecil, masyarakat adat, tidak tahu,” katanya.

Kogoya juga mengatakan bahwa Inpres pemerintah Jakarta itu, hanya memecah belah masyarakat Papua. “Masyarakatnya, adatnya, budayanya, ekonominya, dipecah belah. Sepertinya pemerintah punya niat jahat pada rakyat Papua,” kata Kogoya gusar. Ia menambahkan bahwa masyarakat Papua tidak akan bisa berdamai, sebelum inpres itu dicabut. “Bila tidak, darah akan terus mengalir di tanah Papua,” katanya.

Exit mobile version