Laporan : Ibrahim S/ Walhamri Wahid
Adrianus Apaseray dan Oktovianus Sorondanya ketika mengajak wartawan SULUH PAPUA ‘menengok” rumah tinggalnya yang dirusak saat penyerbuan polisi ke Kampung Yonsu Yongsu pekan lalu, kondisi kampung sendiri hingga kini masih sunyiLEWAT tengah hari, akhirnya Adrianus Apaseray dan Oktovianus mendampingi saya keluar dari “markas” mereka dan berjalan kaki menuju ke Kampung Yonsu Spari, kediaman mereka, sepanjang perjalanan obrolan kami tetap berlangsung.
Adrianus mengeluarkan segala uneg – uneg yang mengganjal di hatinya termasuk soal tudingan polisi bahwa dirinya disamakan dengan teroris dan sedang belajar merakit bom sehubungan ditemukan sejumlah alat – alat yang di curigai untuk merakit bom di rumahnya.
“itu bukan alat merakit bom, yang mereka sita itu adalah alat – alat kerja meubel saya, mesin bor, sekap, mesin amplas, router dan beberapa alat lainnya, pipa yang mereka sita itu kan hanya pipa kosong bukan dipersiapkan untuk merakit bom, peluru yang mereka ambil juga itu peninggalan Perang Dunia II”, kata Adrianus sambil tertawa kecil mengetahui alat – alat kerja meubelnya di anggap sebagai peralatan merakit bom.
Ia juga menjelaskan bahwa senjata yang di sita dari rumahnya maupun rumah Oktovianus hanyalah sebuah senapan angin yang banyak di jual di toko karena biasa mereka gunakan untuk berburu.
“senjata rakitan kami bukan seperti itu, kalau kami mau bikin senjata rakitan itu hak kami karena itu untuk perjuangan kami, tapi kami bukan separatis apalagi teroris, kami memperjuangkan hak kami”
timpal Oktovianus
Setelah berjalan kurang lebih 1 jam, akhirnya kami sampai di tengah – tengah kampung, ada beberapa warga yang sudah berani muncul di kampung, namun mereka tidak menunjukkan gelagat takut saat melihat kedatangan kami.
“ada beberapa warga yang sudah berani pulang siang untuk jaga harta dan ternak yang masih ada, tapi biasanya malam itu mereka kembali ke pengungsian di keluarga di Dormena atau kampung tetangga lainnya, karena mereka khawatir akan di serbu lagi tengah malam”,
jelas Adrianus.
Menurutnya selama ini ia tidak pernah melakukan aktivitas meneror warga apalagi memeras, andaikan ada yang sedikit salah paham atau beda pendapat dengan beberapa warga bukan terkait pandangan dan perjuangannya, namun soal – soal lain di dalam pemerintahan.
“tidak benar kalau saya meneror semua warga, lihat kan, kita lewat tadi mereka biasa – biasa saja, karena saya tidak mengganggu warga yang tidak mencampuri urusan saya, kalaupun ada yang merasa terteror itu karena mereka menjadi mata – mata dan melaporkan aktivitas saya di kampung selama ini kepada aparat, jadi mereka – mereka itu yang terteror”,
jelasnya.
Ia juga mengakui aksi “melaporkan dirinya” ke aparat itu disebabkan juga karena urusan di dalam pemerintahan kampung, termasuk soal dana ADK, dimana ia dituduh menggelapkan sejumlah dana dimaksud.
“karena ada pihak – pihak yang tidak terima soal dana ADK itu, akhirnya mereka mau cari muka ke aparat dan melaporkan aktivitas saya selama ini”,
jelas Adrianus.
Tapi menurutnya peristiwa beberapa hari lalu tidak ada hubungannya dengan dana ADK atau masalah jabatan kampung, namun itu adalah bagian dari sebuah perjuangan.
Sambil kami melihat – lihat kondisi rumahnya yang rusak, kolam ikannya yang katanya diracun, Adrianus lalu menguraikan akar masalah sebenarnya, menurutnya awalnya memang menyangkut masalah dana ADK, kemudian di giring ke masalah politik, dimana ada beberapa oknum warga di Kampung Yonsu yang melaporkannya ke pihak keamaman.
“jadi saya dilaporkan meneror dan intimidasi warga kampung, padahal saya hanya bermasalah dengan mereka – mereka yang menjadi Yudas Iscariot, jadi yah itu, mungkin karena iri hati, atau bagaimana, sehingga di giring ke masalah politik, dan saya dianggap sebagai kelompok pengacau, saya memang anak buah Hans Jouweni, tapi saya bukan pengacau, apalagi meneror warga”,
kata Adrianus.
Ia juga membela diri, bila ia menggunakan dana itu, karena ia juga merasa berhak, karena ihwal turunnya dana Otsus adalah karena perjuangan TPN/OPM.
“dana Otsus itu ada karena OPM atau karena sebagian besar orang pribumi Papua minta merdeka, sementara ada pejabat-pejabat yang bisa korupsi sampai belasan miliar namun hukum tidak menyentuh mereka, oleh karena itu, pejabat Papua yang korupsi uang rakyat akan kami hancurkan sesuai dengan cara kami. Ini juga perjuangan kami”,
katanya
Soal pengibaran bendera Bintang Kejora di Balai Kampung, Oktovianus Sorondanya mengakui ia yang melakukannya, sebagai tanda perlawanan dan eksistensi kelompok mereka dibawah komando Brigjen (TPN/OPM) R. H. Jouweni.
“ya.. benar kami yang kasih naik bendera itu, sebagai tanda perlawanan kita, dan itu perintah dari organisasi OPM, karena apa yang kami lakukan adalah perintah dari atasan kami sebab kita bukan bagian dari Indonesia, dan dunia sudah tahu bahwa masalah Papua adalah masalah Internasional. Jadi kami minta kepada pihak Indonesia untuk segera membuka diri berdialog dengan Papua diatur oleh pihak yang netral ditempat yang netral sama seperti dong (Indonesia) berdialog dengan Aceh juga harus melibatkan PBB, Amerika Serikat dan Belanda karena mereka biang keladi yang telah menyerahkan Papua ke tangan Indonesia untuk dibantai, disiksa dan dihancurkan di atas tanah leluhur kami”,
kata Oktovianus berapi – api.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa mereka sudah tidak percaya lagi pada pemerintah Republik Indonesia yang selalu membohongi rakyat pribumi Papua “kami tidak percaya pada pemerintah Republik Indonesia yang selalu membohongi orang Papua. Otonomi Khusus, tidak ada sesuatu yang khusus di Papua sebab semua aturan masih terus dipegang di Jakarta, UP4B dan Otsus Plus semua adalah penipuan.
Jadi tekad kami sudah bulan minta merdeka, nanti mau miskin melaratkah atau kayakah itu urusan belakang yang penting tanah Papua harus merdeka dulu” kata Oktovianus dan mengaku tidak takut meski kini ia dan kelompoknya masuk target aparat, karena menurutnya itu resiko dari perjuangan.
Kurang lebih 30 menit mereka berdua membawa saya keliling kampung, ia juga sempat menjelaskan kronologis peristiwa naas Jumat (29/11) lalu, termasuk lokasi dimana Eduard Okoseray di tembak dan kami juga sempat menyambangi kuburannya.
Keduanya juga membawa saya melihat kondisi rumah – rumah mereka yang porak poranda setelah di geledah oleh aparat yang hingga kini masih dibiarkan dalam kondisi apa adanya.
Menjelang sore, akhirnya saya berpamitan dan di dampingi penghubung sebelumnya untuk kembali berjalan kaki ke Kampung Dormena, dan akhirnya kami tiba sudah larut dan saya memutuskan untuk bermalam di kampung itu.
Tidak terasa saya sudah 2 hari putus kontak dengan keluarga dan kantor redaksi, dan saya pun tidak memikirkan bahwa mereka semua risau dan gelisah memikirkan keberadaan saya, hingga pagi – pagi saya dikejutkan dengan kedatangan keluarga yang mencoba menelusuri jejak saya, karena mereka khawatir kondisi saya yang tidak ada kabar selama 2 hari.
Rupanya karena tidak ada kabar dari saya selama 2 hari, seorang kakak saya berkoordinasi dengan Pimpinan Redaksi dan diputuskan untuk mengirim utusan dari keluarga guna menelusuri jejak dan keberadaan saya, dan mereka semua bahagia karena mengetahui keadaan saya yang baik – baik saja, dan akhirnya kami kembali ke Jayapura bersama – sama tengah hari itu. (SELESAI)
Kamis, 12-12-2013, SuluhPapua