Laporan : Ibrahim S/Walhamri Wahid
Eduard Okoseray Korban Penembakan di Kampung YongsuSEBUAH pesan singkat masuk di handphone saya Selasa malam (3/12/2013), instruksi dari Pemimpin Redaksi (Pimred) untuk menghubungi beberapa kontak person yang bisa mengantarkan saya untuk masuk ke markas tempat persembunyian Adrianus Apaseray dan beberapa orang rekannya yang belakangan ini ramai di juluki sebagai “Raja Cycloop” oleh polisi.
Beberapa daftar pertanyaan yang harus saya konfirmasi, plus petunjuk teknis liputan demi keamanan saya menjadi bekal dari Pimred via SMS itu.
Sehari pasca penyerbuan dan penyisiran polisi di Kampung Yonsu Spari saya mencoba bertemu “Raja Cycloop”, namun karena masih di liputi suasana duka dan amarah pasca tertembaknya Eduard Okoseray salah satu rekan seperjuangan mereka, sehingga beberapa kontak person yang coba saya hubungi tidak berani menjamin keamanan saya nantinya.
Rabu (4/12/2013) saya berhasil berjumpa dengan beberapa kontak person Adrianus Apaseray yang masih kerabatnya juga, meski awalnya mereka masih ragu untuk mempertemukan saya, karena selain khawatir akan keselamatan saya, nampaknya juga ada sedikit keraguan terhadap saya yang nantinya akan membocorkan rahasia keberadaan “Raja Cycloop” yang masih menjadi buruan polisi tersebut.
Selama perjumpaan dengan kontak di daerah Sentani tersebut, saya aktif berkomunikasi dengan Pimpinan Redaksi sejauh mana peluang untuk bertemu, menjelang siang saya di khabari oleh si penghubung bahwa tidak ada peluang untuk bertemu Adrianus Apaseray, karena situasinya belum kondusif, jadi semua rencana batal, dan saya diminta untuk memberitahukan hal tersebut kepada Pimpinan Redaksi via SMS.
“demi keamanan kamu, kalau sikonnya tidak aman, sebaiknya batalkan saja”, pesan singkat yang saya terima dari Pimred, namun berselang 30 menit kemudian saya di minta untuk mematikan HP dan si penghubung mengajak saya untuk berjalan – jalan ke Depapre sambil membaca sikon katanya, dan semenjak itu kontak saya dengan kantor dan keluarga putus sama sekali.
Namun rupanya hal itu merupakan bagian dari strategi si penghubung untuk memastikan bahwa saya cukup steril untuk di bawa masuk ke hutan tempat persembunyian Adrianus Apaseray.
Kami sampai di Kampung Dormena sudah sore hari, dengan dalih menunggu kontak dari “orang dalam”, kami bermalam di Kampung Dormena, dan pagi – pagi sekali kami berjalan kaki menuju ke Kampung Yonsu Spari Distrik Ravenirara, sesekali kami melalui jalan setapak yang penuh dengan becek karena di guyur hujan, kadang kala kami harus naik ke ketinggian tebing menyusuri jalan berbatu, kurang lebih 1 jam berjalan akhirnya kami sampai di Kampung Yonsu Spari.
Suasana lengang, rumah – rumah warga masih tak berpenghuni, ada sekitar 4 orang laki – laki dewasa yang saya lihat berada di dalam kampung, tapi mereka hanya sekedar melihat – lihat saja.
Saya mencoba memastikan apakah ada patroli polisi atau aparat yang berjaga – jaga di kampung tersebut, namun tidak satupun aparat yang saya temukan, padahal sehari sebelumnya di salah satu media lokal, Kabidhumas Polda Papua mengatakan bahwa untuk menjamin keamanan warga telah ditempatkan satu peleton anggota polisi di Kampung Yonsu Spari pasca penyerbuan.
Setelah duduk beristirahat di dekat salah satu rumah warga yang di bakar, akhirnya kami dijemput oleh “orang dalam” anak buah Adrianus Apaseray dan perjalanan kami lanjutkan kembali membelah rerimbunan hutan Distrik Ravenirara. Semak belukar lebat, dan bebatuan yang tajam di tambah perasaan was – was menjadi satu symphoni yang bergemuruh dalam hati saya. Saya baru terpikir, bahwa sudah sehari saya tidak ada kontak dengan keluarga maupun kantor, bisa jadi mereka akan cemas memikirkan keberadaan saya, namun sepanjang jalan, dalam hati saya hanya bisa berdoa semoga ini bukan perjalanan terakhir dan tugas terakhir saya sebagai wartawan.
Kurang lebih 1 jam kami berjalan kaki akhirnya kami tiba di sebuah gubuk – gubuk kecil tanpa dinding yang menjadi “markas” kelompok ini, tanpa komando kami bertiga langsung merebahkan diri di tanah, melepas segenap penat, peluh bercucuran memancing rasa dahaga.
“mari minum teh dulu, pasti haus dan capek to”, kata beberapa orang pemuda yang berada di pondok tersebut sembari menyuguhkan teh hangat kepada kami usai bersalaman.
Hati saya plong melihat penerimaan mereka yang bersahabat terhadap saya, tidak ada tampang sangar, apalagi mencurigai saya, mereka memeluk saya erat seperti bertemu teman lama, dan kami akhirnya bercengkerama untuk mencairkan suasana.
Beberapa saat kemudian dari balik rerimbunan pohon di belakang pondok kecil tersebut muncul sosok lelaki bertubuh tegap postur semampai dengan sepucuk senapan menggelayut di pundaknya menyapa kami.
“selamat siang, bagaimana capek kah ?”, tanyanya mengulurkan tangan sambil tersenyum memperkenalkan diri, saat itulah baru saya tahu bahwa dia adalah Adrianus Apaseray, yang di juluki oleh polisi sebagai Raja Cycloop selama ini.
Saya memberinya oleh – oleh berupa koran – koran lokal yang mengulas pemberitaan tentang dirinya yang dijuluki sebagai Raja Cycloop dan kronologis penyerbuan kampung Yonsu di penghujung November kemarin, semua koran yang ada ia baca habis.
“tidak benar semua yang dikatakan polisis, tidak ada kontak senjata”, katanya dengan mimik sedikit menahan emosi sambil mengoper koran yang sudah ia baca kepada rekan lainnya.
Sejurus kemudian ia mulai menceritakan ihkwal penyerbuan polisi di pagi hari Jumat (29/11) lalu, dimana menurutnya saat itu ia tengah berada di dalam rumahnya, ketika terdengar bunyi rentetan tembakan dari ujung kampung, ia berlari keluar rumah dan menuju ke hutan dengan membawa senjata, bahkan ia sendiri tidak mengetahui dari arah mana bunyi tembakan tersebut, namun saat itu ia meyakini bahwa yang datang adalah polisi dan targetnya adalah dirinya.
“mereka bukan menyergap, targetnya kan saya, kalau memang saya yang mereka mau sergap mestinya rumah – rumah kami yang di kepung, tapi yang polisi lakukan adalah menyerbu kampung, menghambur tembakan sehingga warga panik dan berlarian menyelamatkan diri, jadi tidak benar kalau polisi bilang kami ada melawan, karena penyerbuaan itu mendadak, di pagi hari, jadi tidak ada yang melawan, semua warga karena takut langsung panik dan lari meninggalkan kampung”,
kata Adrianus membantah pernyataan polisi soal adanya kontak senjata dan hujan anak panah dari masyarakat ke arah polisi.
Saat itu semua masing – masing warga berpikir menyelamatkan diri dan keluarga masing – masing, setelah kampung kosong, barulah anggota polisi beraksi menggeledah bahkan merusak rumah – rumah warga yang mereka curigai sebagai pengikut Adrianus.
“saya sudah di tengah hutan pinggiran kampung dan bertemu beberapa warga lainnya dan mereka menceritakan kepada saya bahwa Eduard Okoseray tertembak dan jatuh di jalan kampung kok, di depan mata aparat, dan mereka semua tahu yang mereka tembak itu manusia, jadi kalau mereka menyangkal tidak ada korban itu sama saja pembohongan publik, atau mereka pikir yang mati itu bukan manusia kah ?”,
katanya dengan nada tinggi menahan geram.
Ia juga sangat menyesalkan, bahwa setelah Eduard tertembak, jasadnya di biarkan tergeletak hingga tengah hari, padahal menurutnya teroris saja yang sudah nyata – nyata membunuh orang jasadnya pasti masih di hargai aparat, di angkat atau di tangani secara layak.
“Tidak, kami tidak melakukan perlawanan, itu polisi dong’ tipu hanya untuk menutupi kesalahan dan membenarkan diri mereka. Kami sama sekali tidak melakukan kontak senjata mengingat ada warga yang takut pada saat itu untuk menyelamatkan diri. Kalau kitong baku tembak tentu warga banyak yang mati dan pasti polisi akan menuduh kami yang melakukannya, padahal kami tidak mungkin membunuh warga yang tidak tahu apa-apa”,
katanya ketika saya mencoba mengejar apa benar ia tidak melakukan perlawanan pagi itu.
Ia kembali menegaskan bahwa ketika itu mereka semua tanpa kecuali memilih menyelamatkan diri, karena polisi yang datang langsung mengarahkan senjata kepada mereka sebagai target.
“Tidak ada tembakan peringatan atau seruan untuk menyerah layaknya sebuah penggerebekan, tapi tembakan polisi itu sudah mengarah langsung ke sasaran sehingga dari pagi masuk polisi sudah menembak Eduard Okoseray ketika lari kurang lebih 100 meter jatuh di jalan mobil, karena Eduard Okoseray lari untuk menyelamatkan anak-anaknya yang masih kecil serta istrinya namun ia ditembak mati jatuh di jalan mobil”,
katanya lagi.
Menjelang tengah hari setelah mereka memastikan bahwa polisi sudah meninggalkan kampung, akhirnya Adrianus dan beberapa warga lainnya memutuskan kembali ke kampung, dan menguburkan jenazah Eduard Okoseray dengan di pimpin oleh seorang pendeta.
“memang kami marah ketika itu setelah tahu teman ada yang mati, jadi kami bakar beberapa rumah yang kami duga kuat sebagai informan polisi sehingga terjadi penyerbuan kemarin”,
katanya mengakui bahwa ia memang yang membakar beberapa rumah warga.
“Kapolda dan Kapolres Jayapura stop tipu sudah kalau tidak ada korban, mereka harus mengakui bahwa telah menembak Eduard Okoseray teman kami. Kalau tidak percaya datang sendiri lihat kuburannya, atau tanyakan langsung kepada keluarganya atau Pendeta yang telah memakamkan jenazah teman kami setelah aparat meninggalkan kampung Yongsu”.
kata Adrianus Apaseray.
Lantas bagaimana asal muasal julukan Raja Cycloop yang kini melekat di sosoknya dan bagaimana ia menggambarkan aktivitas maupun perjuangan kelompoknya dimana ia mengaku anak buah dari Brigjen Hans Yoweni, Panglima TPN/OPM Wilayah Mamta ? Nantikan laporan perjalanana eksklusif saya di edisi esok yah ! (Bersambung)
Selasa, 10-12-2013, SuluhPapua.com