WAMENA - Ketua Umum Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGBP) Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan, selaku mandataris Kongres PGBP, sudah sepatutnya memberikan pertanggungjawaban selama masa 5 tahunan terhadap apa yang diprogramkan oleh kongres 5 tahun lalu, yang terdiri dari 5 keputusan pokok, diantaranya, pertama, penginjilan, itu memang misi utama gereja Tuhan di bumi ini. Kedua, pendidikan, ketiga itu kesehatan, pemberdayaan ekonomi umat Tuhan, kelima adalah keadialan dan hak asasi manusia (HAM). “Itu 5 program yang diputuskan Gereja-Gereja Baptis Papua pada Kongres XVI 2008 lalu. Saya sampaikan laporan pertanggungjawaban saya berkaitan dengan kondisi keprihatinan umat Tuhan dan kekerasan terhadap kemanusiaan,” ungkapnya kepada wartawan disela-sela Kongres ke-XVII PGBP di Gereja Baptis Jemaat Bahtera Wamena, Rabu, (12/12).
Dalam kondisi pelayanan 5 tahun lalu, ia melihat memang situasi realitas pengalaman kehidupan rakyat asli Papua tidak normal. Orang selalu menyatakan ‘Damai-Damai dan Damai’, tapi kalimat ‘Damai’ itu hanya berupa slogan saja, aparat keamanan pun juga ikut-ikutan menyerukan pesan damai, membuat spanduk dimana-mana, yang mana bilang kasih dan damai itu Indah, namun kenyataannya dimana-mana aparat keamanan turut ciptakan konflik. Bukan itu saja, semua orang turut menyampaikan pesan ‘kasih dan damai’ tapi damai sesungguhnya belum ada di tanah Papua, kedamaian selama ini sudah mulai hilang. Padahal orang Papua sejak leluhurnya ditempatkan Allah di tanah ini, mereka hidup dengan aman dan damai, menikmati kebebasan, mereka menghargai martabat sesama satu dengan yang lain. Apalagi saat Injil masuk pada 5 Februari 1855 (3 dekade) silam, damai Tuhan benar-benar dirasakan rakyat Papua. Namun, ketika Indonesia masuk dan mencaplok Tanah Papua ini dan mendudukinya dengan moncong senjata sampai dengan hari ini.
Dalam kondisi seperti Gereja yang mendapatkan mandat otoritas dari Allah, mempunyai tanggungjawab untuk melindungi, menjaga dan mengembalakan umat Tuhan. Terutama melakukan advokasi suara kenabian/pastoral berdasarkan kuasa Allah.
Pada kegiatan advokasi, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa martabat dan harga diri orang Papua ditindas, diinjak dan manusianya dibunuh seperti hewan dan diperlakukan seperti binatang, dengan alasan atas nama keamanan nasional/Negara, apalagi dengan slogan sekarang NKRI harga mati.
Hanya kekayaan alam Papua dikeruk/dieksploitasi besar-besar dan dibawah keluar, sedangkan orang asli Papua menjadi miskin permanen (sangat miskin) diatas tanahnya sendiri walaupun sumber daya alam (SDA) Papua memberikan sumbangsih terbesar bagi Indonesia.
“Itu realitas. Ini tentunya gereja tidak bisa berdiam diri, terutama orang asli Papua yang mempunyai negeri harus dihargai oleh Republik Indonesia. Orang Indonesia harus hargai orang Papua. Dimana-mana saya terus suarakan atas mandat kongres PGBP yang masih laksanakan kongres ini,” tukasnya.
Suara kenabian yang disampaikannya itu adalah misi Allah, sebab Yesus lahir di kandang Betlehem, menderita disalibkan, kemudian wafat di Kayu Salib dan bangkit pada hari ketiga, itu untuk kepentingan martabat umat manusia, bukan untuk kepentingan Negara atau kepentingan keamanan nasional. Minta maaf!.
“Saya tidak melawan Negara, saya melawan ketidakadilan, kekerasan yang dilakukan Negara terhadap rakyat Papua. Nah itu komunikasi advokasi yang kami sampaikan baik kepada pemerintah lokal, pusat, teman-teman di kedutaan-kedutaan dan para diplomat, LSM. Kami butuh solidaritas dan kawan lain, karena Gereja itu universal,” terangnya.
Menurutnya, Gereja tidak bisa dibatasi dengan dimensi ruang dan waktu atau aturan manusia, aturan Indonesia atau salah satu Negara. Gereja juga tidak berada dibawah satu bendera, tapi gereja berada dibawah Bendera Salib Yesus Kristus.
Dengan demikian, jika statmen bahwa dirinya melawan Negara, sekali-kali ia tidak melawan Negara, melainkan dirinya diberikan mandat oleh Allah untuk membela umat Tuhan, sebagaimana dirinya mengetahui dari otoritas Firman Allah yang ada dalam Alkitab.
“Pemerintah jangan korek-korek gereja. Minta maaf, kalau NKRI mau bangun ya bangun dengan cara mu sendiri. Jangan mengganggu otoritas gereja, sebab Gereja tidak didirikan oleh otoritas manusia, tapi Gereja didirikan atas kuasa Ilahi, sebagaimana ungkapan Yesus kepada Rasul Petrus bahwa, diatas Batu Karang Ini, Aku dirikan Jemaat ku dan Alamaut tidak akan mengusai dia,” sambungnya.
Lanjutnya, Yesus bersabda kepada Rasul Petrus, Gembalakan Domba-Domba Ku, karena pencuri hanya datang untuk mencuri , membunuh dan membinasakan, tetapi Aku (Yesus) datang supaya mereka mempunyai hidup dengan segala kelimpahan.
Berikutnya, dirinya mengeluarkan statmen soal kondisi Puncak Jaya, dimana ia menyatakan Selama 7 tahun di Puncak Jaya kok konflik masih ada. Saya bilang konflik itu sengaja diciptakan untuk mungkin juga dapat uang kah? masa ada mesin jahit di hutan kah, jadi jahit Bintang Kejora untuk dikibarkan. Saya jadi heran. Juga apakah ada pabrik senjata di hutan, jadi dibilang ditemukan senjata. Jika dibilang perampasan, maka dimana perampasannya, dan kapan rampasnya. Atas statmennya itu Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih memanggil dirinya, tapi dirinya tidak pernah hadir, karena dirinya bukan bawahan Pangdam dan Kapolda, apalagi Kapolda Papua dan Pangdam adalah pendatang di Negeri ini, dan dirinya dan orang Papua lainnya adalah tuan di negeri ini.
Dengan demikian, dirinya, Kapolda dan Pangdam adalah sama-sama pemimpin, sehingga jika berbicara masalah Papua harus berbicara pada tataran sama-sama pemimpin. Dan juga membutuhkan dirinya, maka harus datang bertamu, bukan dirinya pergi untuk menghadap, karena sekali lagi dirinya bukan bawahan Pangdam dan Kapolda.
Selanjutnya, pada 6 Maret 2006, mobilnya dihancurkan oleh Brimobda Papua. Disini silakan saja hancurkan mobilnya, yang terpenting otaknya dan suara kenabiannya tidak bisa dihancurkan, karena sama saja menghancurkan Injil Yesus Kristus yang berkuasa itu.
Hal lainnya, sekembali dirinya dari Australia, ia diteror dan petugas Imigrasi Jakarta menangkap dirinya, namun dirinya menyerahkan Paspornya saja, dan menyatakan petugas Imigrasi tidak berhak menyentuh dirinya, karena Petugas Imigrasi tidak diberikan mandat oleh Allah untuk mengatur dan menyentuh dirinya. Apalagi dirinya mempunyai hak hakiki dan martabat yang Tuhan kasih.
“Banyak hal yang saya alami yang dilakukan NKRI, termasuk buku-buku saya dilarang untuk diedarkan, seperti pemusnahan ras malanesia, dan suara gembala bagi umat yang tak bersuara. Ya tapi itu bagian dari demokrasi dan perjuangan akan keadilan yang membutuhkan pengorbanan yang panjang dengan berlandaskan Salib Yesus Kristus,” tandasnya.
Terkait dengan itu, Gereja Baptis memiliki prinsip, independensi, otonomi dan juga kemandirian. Salah satu prinsip penting itu, yakni ada keterpisahan antara Negara dan Gereja, sehingga Gereja Baptis tidak sama sekali ada hubungan dengan Negara/pemerintah.
Oleh sebab itu, dirinya sangat heran bahwa Gereja harus mendaftar di Kementian Agama, Kesbang Pol. Ini jelas sesuatu yang keliru, sebab bagaimana Gereja mau diatur/diintervensi oleh Negara, sementara Gereja didirikan oleh Allah sendiri diatas batu karang yang teguh, maka jelas tidak perlu didaftarkan di pemerintah. Itu kekeliruan besar, dan jelas orang-orang di pemerintah itu akan dikutuk oleh Tuhan.
Dirinya menyerukan supaya Gereja-Gereja harus melakukan perubahan besar terhadap sistem Negara yang menindas rakyat Papua ini. Gereja tidak boleh ditundukan dengan nilai uang milyaran rupiah.
“Dalam semangat kemitraan itu harus diperjelas dalam hal apa. Jangan karena pemerintah kasih uang lalu bilang kemitraan. Jadi kalau mau kasih uang ya kasih, kalau tidak ya tidak. Dana otsus sampai detik ini Gereja Baptis tidak menerimanya, kalau ada yang mengatasnamakan Gereja Baptis dan Ketua Sinode, silakan saja, tapi yang jelas saya adalah Ketua Sinode,” pungkasnya.(nls/don/l03)
Kamis, 13 Desember 2012 08:18, Binpa